TABARRUKAN
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
tabarruk dalam tradisi
masyarakat sejauh ini lebih identik pada upaya memperoleh barokah dengan
perantara orang-orang mulia di sisi Allah SWT, semisal para Nabi, wali dan
kiai, serta peninggalan, petilasan dan setiap hal yang terkait dengan mereka,
baik mereka masih hidup atau sepeninggalannya.
Akhhir-akhir ini tradisi Tabarruk
atau ngalap berkah menjadi problem sosial di kalangan ummat Islam.
Antara satu kelompok dengan kelompok yang lain cenderung ada perbedaan dalam
memahaminya, ada yang moderat dan ada pula yang ekstrim.
Di Indonesia misalnya, antara NU dan Muhammadiyah sering
terjadi kontroversi ketika memahami tabarruk. NU sangat toleran dengan
tradisi-tradisi yang berkembang seperti tabarruk di kuburan para wali
dan peninggalan-peninggalan mereka. sedangkan Muhammadiyah sedikit ekstrim
menyikapi beberapa tradisi tabarruk yang berkembang di masyarakat.
Seperti tabarruk di kuburan para auliaya’ oleh sebagian mereka dianggap
tidak sesuai dengan ajaran Islam, sesat, syirik dan bid’ah.
menjadi suatu
keniscayaan, pemahaman tabarruk perlu diketengahkan kembali. Oleh sebab
itu, kami menyusun makalah tabarruk ini sebagai pengetahuan bagi yang
masih belum mengerti, pengingat bagi yang sudah lupa dan tentu agar
dilestarikan dengan diamalkan dan di tradisikan bersama bagi yang meyakininya.
II. RUMUSAN MASALAH
Batasan
pembahasan dalam karya ini akan kami rangkum dalam rumusan masalah berikut:
1.
Apa pengertian Tabarruk?
2.
Bagaiman tinjauan hukum tabarruk?
3.
Apa saja permasalahan
seputar tabarruk yang terjadi di lingkungan masyarakat?
III. TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan dari
pembahasan ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian
Tabarruk
2.
Untuk mengetahui
Tinjauan Hukum Tabarruk
3.
Untuk mengetahui
permasalahan seputar tabarruk yang terjadi di lingkungan masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TABARRUK
Tabarruk berasal dari
kata برك dengan masdar البركة . Sementara barakah sendiri memiliki
dua arti, yaitu:
a.
Menetap, yang berasala
dari ungkapan:
برك البعير
إذا أناخ في موضع فلزمه
“barakah al-ba’ir (yang berarti), ketika seekor unta menderum di
suatu tempat lalu mendiaminya.”
b.
Bertambah atau
berkembang.
Bermula dari
dua makna tersebut, barakah kemudian menjadi istilah bagi sebuah
keberuntungan, seperti diungkapkan oleh al-Fara’ (144-207 H/761-822 M), tokoh
besar bahasa dan gramatika Arab asal kota Kuffah, Irak:
البركة
السعادة وبه فسر قوله تعالى رحمةالله وبركاته عليكم أهل البيت لأن من أسعده الله
تعالى بما أسعد به النبي صلى الله عليه وسلم فقد نال السعادة المباركة الدائمة
“barakah adalah keberuntungan, dengan arti tersebut firman Allah
Ta’ala “Rahmatullahi wa barakatuhu ‘alaikum ahlal bait” ditafsiri. Sebab, orang
yang diberi keberuntungan oleh Allah Ta’ala dengan keberuntungan yang
diberikan-Nya kepada Nabi SAW. maka niscaya ia telah memperoleh keberuntungan
yang penuh barakah dan abadi.”
Barakah bisa
pula berarti sebagai suatu kebaikan ilahi yang secara kontinyu ada dalam
suatu perkara, sebagaimana ungkapan abu al-qosim al-asbihani
ثُـبُـوْتُ
الْخَيْرِ اْلاِلهِيِّ فِي الشَّيْءِ
“berkah
adalah tetapnya kebaikan ilahi dalam suatu perkara”
Dengan bahasa
lain syeh yusuf khottar muhammad mengatakan:
أن البركة سر
إلهي وفيض زاده الله تعالى ونمى به أعمال البر بملازمة القربات الكريمة
“barokah
adalah rahasia ilahi dan limpahan rahmat yang dengannya Allah tambahkan dan
kembangkan amal baik dengan secara kontinyu bisa melakukan kemuliaan pendekatan
diri (taqorrub kepadanya).”
Dengan makna
tersebut, maka barokah termasuk buah dari amal shaleh, dengannya Allah SWT.
mewujudkan harapan, menghindarkan bahaya dan Allah SWT. membukakan kunci-kunci kebajikan.[1]
Dalam Al–Qur’an pun kata barakah ini banyak disebutkan
di antaranya:
Ÿ@yèy_ur $pkŽÏù zÓÅ›ºuru‘ `ÏB $ygÏ%öqsù x8t»t/ur $pkŽÏù u‘£‰s%ur !$pkŽÏù $pksEºuqø%r& þ’Îû Ïpyèt/ö‘r& 5Q$ƒr& [ä!#uqy™ tû,Î#ͬ!$¡¡=Ïj9 (فصلت : 1)
Artinya: “Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni) nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertany”.(QS. Fushillat : 10)
z`»ysö6ß™ ü“Ï%©!$# 3“uŽó r& ¾Ínωö7yèÎ/ Wxø‹s9 šÆÏiB ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ’n<Î) ωÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# “Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# çŽÅÁt7ø9$# (الاسر: 1)
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.( QS. Al
Is’ra: 1 )
(#þqä9$s% tûüÎ7yf÷ès?r& ô`ÏB ÌøBr& «!$# ( àMuH÷qu‘ «!$# ¼çmçF»x.tt/ur ö/ä3ø‹n=tæ Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# 4 ¼çm¯RÎ) Ó‰ŠÏHxq Ó‰‹Åg¤C ÇÐÌÈ
Artinya: “Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang
ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas
kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS. Hud : 73 )
Ayat ini
menjelaskan bahwa ketika para malaikat (Jibril, Mikail, Isrofil) telah datang
kepada Nabi Ibrahim as dengan membawa kabar gembira, bahwa “Isterinya (Siti Sarah) akan mempunyai keturunan yaitu Nabi Ishaq as, dan
Nabi Ishaq as ini akan mempunyai keturunan yaitu Nabi Yakub as”. Mendengar
berita tersebut siti sarah langsung berkata:“Mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua (usianya 99
tahun) dan suamiku (Nabi Ibrahim as) ini sudah sangat tua (usianya 120 tahun)?
ini sangat mengherankan bagi kami (Nabi Ibrahim as dan Siti Sarah) yang sudah
tua akan melahirkan anak. Para malaikat (Jibril, Mikail, Israfil) berkata:
“Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah swt? itu adalah rahmat dan
berkah dari Allah swt yang dicurahkan kepada kamu wahai Ahlul Bait (keluarga
Nabi Ibrahim as), sesungguhnya Allah swt Maha Terpuji lagi Maha Pengasih”.[2]
Dapat pula dilihat pada: (Tafsir Munir, As-Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi. juz I
h.389-390), (Hassiyah Al-Alamatus-Shawiy Ala Tafsir Al-Zalalain, As-Syaikh Ahmad
Shaawiy Al-Maki. Juz III h. 221-223)
#x‹»ydur ë=»tGÏ. çm»oYø9t“Rr& Ô8u‘$t6ãB çnqãèÎ7¨?$$sù (#qà)¨?$#ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? (الانعام: 155)
Artinya: “Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang di
berkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat, ( QS. Al –
An’am :155 )
Oleh sebab
itu, setiap kebaikan atau keberuntungan pada suatu hal bisa disebut sebagai
barokah. Semisal kitab al-Ajjurmiyah yang telah beratus-ratus tahun
menjadi kurikulum dasar bahasa Arab di berbagai lembaga pendidikan Islam, bisa
dikatakan bahwa kitab tersebut adalah kitab yang barokahnya banyak. Sebuah
keluarga yang harmonis dan dipenuhi nilai-nilai sakinah, mawaddah wa rahmah bisa
disebut keluarga yang penuh barokah. Begitu pula seorang santri yang telah
pulang dari pesantren dan mampu mengamalkan serta menyebarkan ilmunya di tengah
masyarakat bisa pula dinilai sebagai santri yang memperoleh barokah ilmunya.[3]
Dari makna-makna
barokah di atas, secara sederhana tabarruk atau ngalap berkah bisa
diartikan sebagai upaya seseorang untuk memperoleh kebaikan atau keberuntungan
dalam setiap lini kehidupannya.[4]
B.
TINJAUAN HUKUM TABARUK
Perkataan Tabarruk bukanlah suatu perkataan yang sekarang
ini timbul, tetapi dalam Al–Qur’an dan hadits perkataan tabarruk ada di
dalamnya. Namun perkataan tabarruk ini bukan hanya suatu perkataan kosong, akan
tetapi ini suatu perbuatan yang dilakukan oleh para Nabi, sahabat, dan
orang–orang shaleh.[5]
Seperti telah disinggung dalam bab
Ziarah kubur, tabarruk tiada lain adalah satu pola keberagaman dan cara
berdoa orang Islam dari zaman Nabi SAW. Sampai sekarang. Subtansi tabarruk
adalah praktek tawassul. Sebab, keduanya sama- sama merupakan salah satu
cara berdo'a atau upaya untuk meluluskan harapan. Baik mendatangkan kebaikan
ataupun menghindarkan petaka.[6]
Maka tabarruk termasuk salah satu anjuran syari'at dalam firman Allah
SWT.
ياايهاالدين أمنوا اتقوا آلله وآبتغوا إليه
آلوسيلة وجهدوا فى سبيله لعلكم تفلحون
”Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dan carilah wasilah (amal atau
sebab) yang mendekatkan diri kepada-Nya,dan berjihadlah pada jalan-Nya,supaya
kamu mendapat keberuntungan."(QS. Al-Maidah:35)
Begitu pula ayat lain yang menceritakan tabarruk
Nabi Nabi Yusuf AS. Dengan baju gamisnya untuk menyembuhkan mata Sang
Ayahanda yang sempat buta, Nabi Ayyub AS.
اذْهَبُوا
بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي
بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِين
"
Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini,lalu letakkan pada wajah ayahku,
nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku." (QS. Yusuf:93)
Atau kisah tentang kaum Tsamud,
umad Nabi Shaleh AS.
ولقد كذ ب أصحب الحجر المرسلين
"Dan sesungguhnya penduduk- penduduk
al-Hijr telah mendustakan rasul- rasul." (QS. Yusuf: 93)
Mengomentari ayat tersebut Imam
al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata:
“kemudian
dalam ayat ini, yang hukum dan perkaranya telah dijelaskan Nabi, ada delapan
masalah yang dirumuskan oleh ulama,........ dan yang kelima adalah perintah
Nabi SAW. kepada para sahabat untuk mengambil air dari sumur (yang didekati)
unta menjadi dalil atas tabarruk dengan atsar para Nabi dan Shalihin, kendati
masa mereka telah lewat dan atsarnya sudah tidak jelas”.
Maksud
perintah Nabi SAW. kepada para sahabat di atas adalah perintah beliau dalam
hadis:
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ، أَخْبَرَهُ،
أَنَّ النَّاسَ نَزَلُوا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى الْحِجْرِ - أَرْضِ ثَمُودَ - فَاسْتَقَوْا مِنْ آبَارِهَا، وَعَجَنُوا بِهِ
الْعَجِينَ «فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يُهَرِيقُوا مَا اسْتَقَوْا، وَيَعْلِفُوا الْإِبِلَ الْعَجِينَ، وَأَمَرَهُمْ
أَنْ يَسْتَقُوا مِنَ الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَرِدُهَا النَّاقَةُ»،
“Dari Nafi’, sungguh Abdullah bin
Umar bercerita tentang rombongan yang beristiraha bersama Rasulullah SAW. di
desa Hijr,[7]bumi
kaum Tsamud, kemudian mereka mengambil air dari sumur-sumurnya dan membuat
adonan makanan dengannya. Lalu Rasulullah SAW. memerintahkan mereka agar
menumpahkan air yang telah diambil dan memberi makan unta dengan adonan makanan
tersebut, serta memerintahkan mereka mengambil air dari sumur yang didekati
unta” (HR. Muslim)
Maka seperti halnya dalam tawassul,
orang-orang shaleh ditabarruki sebab khusnuzhan atas
keistimewaan dan kedekatan mereka di sisi Allah SWT. petilasan, peninggalan dan
kuburan semisal, dicari barakahnya sebab kemuliaan orang shaleh yang pernah
menyinggahinya atau menempatinya. Sebuah benda dijadikan media tabarruk sebab
keagungan pemiliknya, seperti sampul mushaf al-Qur’an yang mempunyai barakah,
wajib dimuliakan dan haram dihina, tiada lain karena telah menjadi sampul kitab
yang mulia. Kendati begitu, aliran barakah yang diperoleh bukan berarti murni
darinya tanpa campur tangan Allah Ta’ala sebagai sumber bearakah itu sendiri.[8]
Adapun pendapat para ulama yang membolehkan tabarruk yaitu:
1. Al–Hafidz Ibnu Hajar membolehkan
tabarruk dengan ayat–ayat Al–Qur’an bahkan dalam hal ini tidak terdapat
larangan, karena tujuannya untuk memperoleh berkah dengan adanya ayat–ayat
Al–Qur’an.[9]
2. Imam Muhammad bin Abdul Wahab
membolehkan tabarruk yang berasal dari ayat–ayat Al–Qur’an karena mengharap
berkah.[10]
3. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
(putra Imam Ahmad) membolehkan tabarruk dengan peninggalan–peninggalan Nabi.
Bahkan ayahnya sendiri yaitu Imam Ahmad mengambil berkah dengan rambut Nabi
saw, yang pada saat itu Imam Ahmad menaruh sehelai rambut Nabi di atas bibirnya
dan mengecupnya, kemudian meletakan rambut tersebut di atas matanya dan
memasukan rambut tersebut pada sebuah bejana yang berisi air kemudian
meminumnya dengan tujuan meminta kesembuhan.[11]
4. Syekh Az–Zarqoni Al–Maliki
menfatwakan bahwa mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk
tabarruk maka tidak makruh.
5. Syekh Ar–Ramli As–Syafi’i
berfatwa bahwa jika kuburan Nabi, wali atau orang alim disentuh atau pun dicium
untuk tujuan tabarruk maka tidak mengapa.[12]
6. Al–Ustaz Dr. Hassan As–Syekh
Al–Fatih As–Syekh Qaribullah, beliau mengatakan bahwa perbuatan tabarruk adalah
suatu pengamalan yang ada dalam syara’, karena tabarruk di terangkan dalam
Al–Qur’an. Bahkan amalan ini dikuatkan dengan wujudnya peninggalan–peninggalan
serta benda–benda yang orang bertabarruk dengannya, tanpa mengira masa dan
ketika, bagi keseluruhan umat Nabi Muhammad saw. tabarruk diperkuat lagi dengan
kenyataan yang terkandung di dalam hadis–hadis dalam bentuk kata–kata Nabi,
perbuatan Nabi serta persetujuan Nabi untuk menguatkan apa yang tertera di
dalam Al–Qur’an mengenai kewujudan serta pengamalan tabarruk ini.[13]
7. SYAHAMAH (Syabab Ahlussunnah Wal
Jama’ah) yang diwakilkan oleh Ust. Muhyiddin Fattah, Lc. Beliau mengatakan
bahwa tabarruk itu di bolehkan dan tidak ada larangan selama tidak ada unsur
yang menyalahi sya’ra. Beliau pun mengatakan tentang tabarruk melalui sebuah nadzam. Inti sari yang terkandung dalam
nadzham tersebut antara lain:
Bahwa bertabarruk kepada Nabi saw itu diperbolehkan
selama tidak menyalahi hukum yang berlaku, contohnya seperti “Imam Ahmad
mengambil berkah dengan rambut Nabi saw yang pada saat itu, Imam Ahmad menaruh
sehelai rambut Nabi saw di atas bibirnya dan mengecupnya, kemudian meletakan
rambut tersebut di atas matanya dan memasukan rambut tersebut pada sebuah
bejana yang berisi air kemudian ia meminumnya dengan tujuan meminta kesembuhan.
Seperti juga Nabi Muhammad saw meletakan tangannya ke
kepala handzalah kemudian Nabi saw mengatakan “Barakallah Fikum” (Semoga Allah
swt memberkatimu). Tujuannya adalah mendatangkan kebaikan untuk orang yang
bersangkutan yaitu Handzalah melalui do’anya orang saleh yaitu Nabi saw.
Melihat kenyataan di atas bahwa bertabarruk
diperbolehkan dalam Islam terutama kepada orang-orang yang saleh seperti Nabi
Muhammad saw, sahabat Nabi saw, dan para waliyullah.[14]
Adapun pendapat ulama yang melarang secara mutlak baik
menggunakan ayat–ayat Al–Qur’an yang dibuat jimat–jimat atau ditulis dan
sebagainya dengan berbagai macam pendapat, pendapat–pendapat tersebut ialah:
1. Yusuf Qardhawy melarang pemakaian
jimat–jimat keseluruhannya, pemilihan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: Pertama.
Keumuman larangan menggunakan jimat, yang mana nash–nash yang ada tidak
memebedakan antara jenis jimat yang satu dengan jimat yang lainnya, dan juga
tidak di dapatinya nash yang mengkhususkannya. Kedua, Tindakan
pencegahan, sehingga tidak melebar kepada pemakaian jimat yang bukan berasal
dari Al–Qur’an dan dzikrullah. Ketiga, Jika seseorang menggantungkan
(memakai) jimat, maka pasti ia akan menghinakannya, dengan membawanya ketika
membuang hajat, atau ketika dalam keadaan junub dan sebagainya. Keempat,
Bahwasanya Al–Qur’an hanya di turunkan agar menjadi hidayah dan manhaj (pedoman
hidup) bagi kehidupan, bukan untuk di ambil sebagai jimat atau
penyekat–penyekat (sejenis jimat) dan lain–lainnya.[15]
2. Bin Baz (Abdul Aziz) mengatakan
bahwa meletakan Al–Qur’an dalam kendaraan (Mobil) untuk mencari berkah
(tabarruk) adalah sesuatu yang tidak beraras (tidak ada asalnya) dalam syari’at
islam. Dengan kata lain Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa perbuatan semacam
itu (tabarruk) merupakan perbuatan bid’ah.
3. Ibn Utsaimin mengatakan bahwa
mengambil berkah dari kisa (kain yang melingkar) ka’bah dan mengusap–usapnya
termasuk perbuatan bid’ah karena Nabi tidak pernah mengajarkannya.
4. Ibn Fauzan menyatakan tabarruk
mempunyai arti mencari berkah, penetapan kebaikan, meminta tambahan kebaikan.
Permintaan ini harus di minta dari sesuatu yang pemiliknya adalah yang memiliki
kemampuan yang tak lain hanyalah Allah swt semata, hanya ia yang mampu
menurunkan dan menetapkannya, tiada satu mahluk pun yang mampu memberikan
ampunan, memberi berkah, dan menetapkannya. Atas dasar itu tidak boleh
mengambil berkah dari tempat–tempat, peninggalan–peninggalan atau pun
seseorang, baik yang masih hidup atau pun yang telah mati karena hal itu bisa
masuk kategori syirik.[16]
Meskipun begitu tidak seyogyanya bagi seorang muslim
bersikap keras di dalam mengingkari jimat–jimat jika berasal dari Al–Qur’an dan
dzikrullah dalam mencari berkah, atau menganggapnya merupakan kemungkaran yang
harus di ubah dengan tangan (kekuasaan), karena sudah menjadi keputusan bahwa :
“Tidak (boleh) ada pengingkaran dalam masalah–masalah Ijtihadiyah Khilafiyah
(masalah–masalah yang masih menjadi perbedaan pendapat dan berpeluang untuk
melakukan ijtihad)”. Walaupun hak setiap muslim yang puas dengan suatu
pendapat untuk membuktikan dalil yang kuat atas kebenaran pendapat yang
dianutnya, dan menerangkan kesalahan pendapat yang lain dengan cara yang lemah
lembut dan bijaksana tanpa mencela atau melukai hati orang lain dan tanpa di
sertai kekerasan di dalam menjelaskannya.[17]
C. PERMASALAHAN
SEPUTAR TABARRUK YANG TERJADI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
1.
Orang-orang Shaleh yang
diharap Barakahnya
Pada dasarnya
setiap muslim bisa saja diharapkan barakahnya. Sebab, denngan kemuslimannya
berarti Allah SWT. telah memberinya kebaikan atau barakah. Namun pada
faktanya, yang sering dilakukan para sahabat Nabi maupun ulama’ hanyalah bertabarruk
kepada para shalihin saja. tingkat keberhasilannyapun relatif tinggi. Lalu
siapa yang dimaksud dengan shalihin dalam hal ini? Seperti yang diutarakan oleh
para ulama’, predikat shaleh bisa diterjemahkan dalam dua makna:
a.
Muslim, siapa saja yang
beragama Islam.
b.
Orang yang konsisten
memenuhi hak-hak Allah SWT. dan sesamanya, yang terdiri dari para Nabi, shadiqin,
syuhada’ dan orang-orang shaleh setingkat di bawah mereka.
Maka sudah
selayaknya orang yang diharapkan barakahnya adalah orang shaleh dengan makna
yang kedua. Bisa mencakup siapa saja yang konsisten menjalankan Agamanya, baik
jalur vertikal kepada Allah SWT. ataupun jalur horizontal kepada para sesama.
Bisa saja para Wali, Kyai ataupun yang lainnya asalkan benar-benar konsisten dalam
menjalankan agamanya. Selaras dengan rumusan para ulama’ tentang makam yang
boleh dibangun secara permanen hanyalah makam orang-orang shaleh, agar mudah
diziarahi dan dicari barakahnya.[18]
2.
Tabarruk dengan
Kuburan Waliyullah
Seringkali
kita jumpai di makam para Wali, banyak orang yang mencari barakahnya dengan
berbagai cara. Ada yang cukup mengambil air sumur yang ada disana, maupun
dengan cara mencium makamnya. Namun kita tidak bijak bila terburu-buru
menganggapnya salah. Sebab dewasa ini terbukti bahwa air yang telah diberi do’a
atau terletak di samping benda yang memberinya informasi positif bisa menjadi
penyembuh berbagai penyakit.
Adalah Dr.
Masaru Emoto, sarjana asal Jepang, telah berhasil melakukan penelitian tentang
air yang diberi informasi (dilabeli) positif dan negatif. Air yang dilabeli
negati seperti kata-kata “kamu bodoh”, akan bereaksi dengan membentuk
kristal-kristal yang tidak beraturan. Sebaliknya, bila diberi lebel positif,
seperti kata “terimakasih” atau “sayang”, maka akan bereaksi dengan membentuk
kristal heksagonal (segi enam) yang indah. Bahkan Masaru berhasil menyembuhkan
penyakit jantung bawaan (infantile heart hypertrophy) seorang bayi dengan air hado
(energi abstrak) dari hasil penelitiaannya. Masih menurut Masaru, hado tidak
hanya berada dalam air, namun pada semua benda di dunia, yang bisa berbentuk
positif ataupun negatif dan mudah dipindah dari satu benda ke benda yang lain.
Di lain
pihak, para ulama’ merumuskan bahwa penghormatan kepada para ahli kubur
sepeninggalan mereka mesti dilakukan sebagaimana saat mereka masih hidup.
Meskipun menyentuh dan mencium kuburan ataupun nisan di atasnya dinilai sebagai
perbuatan yang makruh, namun rumusan ini tidak berlaku bagi para Nabi, Wali dan
semisalnya bila bertujuan tabarruk.[19]
3.
Tabarruk dengan Selain
Rasulallah SAW
Dewasa ini
ada beberapa orang yang tidak setuju pada tabarruk dengan para shalihin
atas dasar beberapa alasan sebagai berikut:
a.
Barakah yang diberika
kepada Nabi merupakan keistimewaan darinya. Orang lain tidak bisa dikiaskan
pada beliau. Sebab, mereka tidak bisa dipastikan keshalehannya, sehingga tidak
dapat dijadikan media tabarruk.
b.
Para sahabat Nabi tidak
melakukan tabarruk pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan beberapa sahabat
lain yang dipastikan keshalehannya, hal ini menjadi bukti kebenaran asumsi di
atas. Sebab, andaikan orang lain bisa dikiaskan kepada Nabi, tentu para sahabat
melakukan tabarruk pada Abu Bakar dan lain sebagainya.
c.
Mencegah pintu
kesyirikan, seperti yang telah terjadi pada kaum Nabi Nuh AS.
Namun
mayoritas ulama’, semisal al-Nawawi, Ibnu Hajar dan semisalnya memperbolehkan
tabarruk pada para shalihin sebagaimana keterangan yang telah lewat. Pendapat
para ulama’ tersebut bisa dimaklumi dengan keabsahan tabarruk yang
berdasarkan pada:
a)
Khusnuddhon atas
kesalehan orang yang dijadikan media tabarruk.
b)
Bukti nyata para sahabat
bertabarruk pada selain Nabi. Semisal Abdu al-Rahman bin Auf dan Abllah bin
Mas’ud yang berwasiat untuk dimakamkan di dekat Utsman bin Matdghun seperti
yang telah disebutkan di bab ziarah Qubur. Meskipun belum diketahui secara
pasti para sahabat melakukan tabarruk pada Abu Bakar dan semisalnya.
Namun hal ini tidak bisa menafikan kisah Abdu al-Rahma bin Auf dan Ibnu Mas’ud
tersebut. selain itu tabarruk telah menjadi warisan para ulama’ dari
zaman Nabi hingga sekarang.
Sementara
kehawatiran tabarruk akan menyebabkan kesyirikan blom bisa dianggap cukup kuat
untuk mencegahnya.[20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas,
dapat kami tarik kesimpulan:
1.
barokah adalah rahasia
ilahi dan limpahan rahmat yang dengannya Allah tambahkan dan kembangkan amal
baik dengan secara kontinyu bisa melakukan kemuliaan pendekatan diri (taqorrub
kepadanya). secara sederhana tabarruk atau ngalap berkah bisa diartikan sebagai
upaya seseorang untuk memperoleh kebaikan atau keberuntungan dalam setiap lini
kehidupannya
2.
mengenai hukum tabarruk,
ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkannya, sebegian ulama’ membolehkannya
dengan beberapa pengecualian dan sebagian yang lain secara mutlak melarangnya.
3.
Permasalahan seputar tabarruk
yang terjadi di lingkungan masyarakat antara lain:
a.
Orang-orang Shaleh yang
diharap Barakahnya.
Orang shaleh disini
ialah Orang yang konsisten memenuhi hak-hak Allah SWT. dan sesamanya, yang
terdiri dari para Nabi, shadiqin, syuhada’ dan orang-orang shaleh
setingkat di bawah mereka.
b.
Tabarruk dengan kuburan
Waliyullah.
Para ulama’ merumuskan
bahwa penghormatan kepada para ahli kubur sepeninggalan mereka mesti dilakukan
sebagaimana saat mereka masih hidup. Meskipun menyentuh dan mencium kuburan
ataupun nisan di atasnya dinilai sebagai perbuatan yang makruh, namun rumusan
ini tidak berlaku bagi para Nabi, Wali dan semisalnya bila bertujuan tabarruk.
c.
Tabarruk dengan Selain
Rasulallah SAW
Dewasa ini ada beberapa
orang yang tidak setuju pada tabarruk dengan para shalihin atas dasar
berbagai alasan. Namun mayoritas ulama’, semisal al-Nawawi, Ibnu Hajar dan semisalnya
memperbolehkan tabarruk pada para shalihin. Pendapat para ulama’ tersebut bisa
dimaklumi dengan keabsahan tabarruk yang berdasarkan pada berbagai
alasan yang mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Al Hariri, Asy Syaihk
Abdullah. 2002. Al
Maqolaatis Sunniyyah Fi Dhalalati Ahmad Ibnu Taimiyyah. Beirut:
Da’arul Masaa’rih.
Al–Qardhawy, Yusuf. 1999. Sikap Islam
Terhadap Ilham, Kasyaf, Mimpi, Jimat, Perdukunan dan Jampi–Jampi. Jakarta:
Bina Tsaqafah.
Gozali,
Ahmad. 2009. “Tabarruk Terhadap
Benda Keramat Dalam Prespektif Hukum Islam: Studi Kasus Pada Masyarakat Kampung
Duri Kecamatan Cengkareng”. Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN) syarif
hidayatullah, jakarta.
http://forum.dudung.net/index.php?topic=8975.15. Diunduh pada
08-12-2014.
http://salafyindonesia.wordpress.com/2007/06/21/mengambil-berkah-tabarruk-merupakan-perbuatan-bidah-atau-syirik-bag-4/. Diunduh pada
08-12-2014.
Ibni Ahmad
Al-Mahalli, Jalaluddin
Muhammad Wa Ibni Abi Bakri As-Suyuthi, Syekh Al-Mutazar Jalaluddin Abdurrahman. Tt. Tafsir
Jalalain. Semarang:
Toha Putra.
Muntaha, Ahmad
AM dkk. 2010. Kajian Pesantren Tradisi dan
Adat Masyarakat MENJAWAB VONIS BID’AH . lirboyo: Pustaka Gerbang
Lama.
[1] Ahmad Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren
Tradisi dan Adat Masyarakat MENJAWAB
VONIS BID’AH (lirboyo: Pustaka Gerbang Lama, 2010), 205-206.
[2] Jalaluddin Muhammad Ibni Ahmad
Al-Mahalli Wa Syekh Al-Mutazar Jalaluddin Abdurrahman Ibni Abi Bakri As-Suyuthi. Tafsir Jalalain (Semarang: Toha
Putra, tt), 187.
[3] Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren, 207.
[4] Ibid., 207.
[5] Ahmad Gozali, “Tabarruk Terhadap Benda Keramat Dalam Prespektif Hukum Islam: Studi Kasus
Pada Masyarakat Kampung Duri Kecamatan Cengkareng”, (Skripsi, Universitas Islam
Negeri (UIN) syarif hidayatullah, jakarta, 2009), 33.
[6] Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren, 208.
[7] Desa yang terletak di antar kota Madinah
dan Syam.
[8] Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren, 210.
[9] Yusuf Al–Qardhawy. Sikap Islam Terhadap Ilham, Kasyaf, Mimpi, Jimat, Perdukunan dan
Jampi–Jampi (Jakarta: Bina Tsaqafah, 1999), 198.
[10] Ibid., 199
[11] Asy Syaihk Abdullah Al Hariri. Al Maqolaatis Sunniyyah Fi Dhalalati Ahmad Ibnu Taimiyyah (Beirut:
Da’arul Masaa’rih, 2002 ) 279.
[14] Ahmad Gozali, “Tabarruk Terhadap Benda Keramat Dalam Prespektif Hukum Islam: Studi Kasus
Pada Masyarakat Kampung Duri Kecamatan Cengkareng”, (Skripsi, Universitas Islam
Negeri (UIN) syarif hidayatullah, jakarta, 2009), 34-36.
[17] Ahmad Gozali, “Tabarruk Terhadap Benda Keramat Dalam Prespektif Hukum Islam: Studi Kasus
Pada Masyarakat Kampung Duri Kecamatan Cengkareng”, (Skripsi, Universitas Islam
Negeri (UIN) syarif hidayatullah, jakarta, 2009), 38-39.
[18] Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren, 225-226.
[19] Ibid., 226-227.
[20] Ibid., 228-229.
As reported by Stanford Medical, It is in fact the ONLY reason women in this country get to live 10 years more and weigh 42 pounds less than us.
BalasHapus(And really, it really has NOTHING to do with genetics or some secret diet and absolutely EVERYTHING to about "how" they eat.)
BTW, I said "HOW", not "what"...
Tap this link to discover if this little quiz can help you discover your true weight loss possibility