Jumat, 26 Desember 2014

MAKALAH TABARRUK



TABARRUKAN 

BAB I
PENDAHULUAN
I.         LATAR BELAKANG
tabarruk dalam tradisi masyarakat sejauh ini lebih identik pada upaya memperoleh barokah dengan perantara orang-orang mulia di sisi Allah SWT, semisal para Nabi, wali dan kiai, serta peninggalan, petilasan dan setiap hal yang terkait dengan mereka, baik mereka masih hidup atau sepeninggalannya.
Akhhir-akhir ini tradisi Tabarruk atau ngalap berkah menjadi problem sosial di kalangan ummat Islam. Antara satu kelompok dengan kelompok yang lain cenderung ada perbedaan dalam memahaminya, ada yang moderat dan ada pula yang ekstrim.
Di Indonesia  misalnya, antara NU dan Muhammadiyah sering terjadi kontroversi ketika memahami tabarruk. NU sangat toleran dengan tradisi-tradisi yang berkembang seperti tabarruk di kuburan para wali dan peninggalan-peninggalan mereka. sedangkan Muhammadiyah sedikit ekstrim menyikapi beberapa tradisi tabarruk yang berkembang di masyarakat. Seperti tabarruk di kuburan para auliaya’ oleh sebagian mereka dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, sesat, syirik dan bid’ah.
menjadi suatu keniscayaan, pemahaman tabarruk perlu diketengahkan kembali. Oleh sebab itu, kami menyusun makalah tabarruk ini sebagai pengetahuan bagi yang masih belum mengerti, pengingat bagi yang sudah lupa dan tentu agar dilestarikan dengan diamalkan dan di tradisikan bersama bagi yang meyakininya.

II.       RUMUSAN MASALAH
Batasan pembahasan dalam karya ini akan kami rangkum dalam rumusan masalah berikut:
1.         Apa pengertian Tabarruk?
2.         Bagaiman tinjauan hukum tabarruk?
3.         Apa saja permasalahan seputar tabarruk yang terjadi di lingkungan masyarakat?

III.   TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah:
1.         Untuk mengetahui pengertian Tabarruk
2.         Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Tabarruk
3.         Untuk mengetahui permasalahan seputar tabarruk yang terjadi di lingkungan masyarakat?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN TABARRUK
Tabarruk berasal dari kata برك dengan masdar البركة  . Sementara barakah sendiri memiliki dua arti, yaitu:
a.       Menetap, yang berasala dari ungkapan:
برك البعير إذا أناخ في موضع فلزمه
“barakah al-ba’ir (yang berarti), ketika seekor unta menderum di suatu tempat lalu mendiaminya.”
b.      Bertambah atau berkembang.
Bermula dari dua makna tersebut, barakah kemudian menjadi istilah bagi sebuah keberuntungan, seperti diungkapkan oleh al-Fara’ (144-207 H/761-822 M), tokoh besar bahasa dan gramatika Arab asal kota Kuffah, Irak:
البركة السعادة وبه فسر قوله تعالى رحمةالله وبركاته عليكم أهل البيت لأن من أسعده الله تعالى بما أسعد به النبي صلى الله عليه وسلم فقد نال السعادة المباركة الدائمة
“barakah adalah keberuntungan, dengan arti tersebut firman Allah Ta’ala “Rahmatullahi wa barakatuhu ‘alaikum ahlal bait” ditafsiri. Sebab, orang yang diberi keberuntungan oleh Allah Ta’ala dengan keberuntungan yang diberikan-Nya kepada Nabi SAW. maka niscaya ia telah memperoleh keberuntungan yang penuh barakah dan abadi.”
Barakah bisa pula berarti sebagai suatu kebaikan ilahi yang secara kontinyu ada dalam suatu perkara, sebagaimana ungkapan abu al-qosim al-asbihani
ثُـبُـوْتُ الْخَيْرِ اْلاِلهِيِّ فِي الشَّيْءِ
“berkah adalah tetapnya kebaikan ilahi dalam suatu perkara”
Dengan bahasa lain syeh yusuf khottar muhammad mengatakan:
أن البركة سر إلهي وفيض زاده الله تعالى ونمى به أعمال البر بملازمة القربات الكريمة
“barokah adalah rahasia ilahi dan limpahan rahmat yang dengannya Allah tambahkan dan kembangkan amal baik dengan secara kontinyu bisa melakukan kemuliaan pendekatan diri (taqorrub kepadanya).”
Dengan makna tersebut, maka barokah termasuk buah dari amal shaleh, dengannya Allah SWT. mewujudkan harapan, menghindarkan bahaya dan Allah SWT. membukakan kunci-kunci kebajikan.[1]
Dalam Al–Qur’an pun kata barakah ini banyak disebutkan di antaranya:
Ÿ@yèy_ur $pÏù zÓźuru `ÏB $ygÏ%öqsù x8t»t/ur $pÏù u£s%ur !$pÏù $pksEºuqø%r& þÎû Ïpyèt/ör& 5Q$­ƒr& [ä!#uqy tû,Î#ͬ!$¡¡=Ïj9 (فصلت : 1)
Artinya: “Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertany”.(QS. Fushillat : 10)
zysö6ß üÏ%©!$# 3uŽó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 šÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# (الاسر: 1)
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.( QS. Al Is’ra: 1 )
(#þqä9$s% tûüÎ7yf÷ès?r& ô`ÏB ̍øBr& «!$# ( àMuH÷qu «!$# ¼çmçF»x.tt/ur ö/ä3øn=tæ Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# 4 ¼çm¯RÎ) ÓŠÏHxq ÓÅg¤C ÇÐÌÈ
Artinya: “Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS. Hud : 73 )
Ayat ini menjelaskan bahwa ketika para malaikat (Jibril, Mikail, Isrofil) telah datang kepada Nabi Ibrahim as dengan membawa kabar gembira, bahwa Isterinya (Siti Sarah) akan mempunyai keturunan yaitu Nabi Ishaq as, dan Nabi Ishaq as ini akan mempunyai keturunan yaitu Nabi Yakub as”. Mendengar berita tersebut siti sarah langsung berkata:Mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua (usianya 99 tahun) dan suamiku (Nabi Ibrahim as) ini sudah sangat tua (usianya 120 tahun)? ini sangat mengherankan bagi kami (Nabi Ibrahim as dan Siti Sarah) yang sudah tua akan melahirkan anak. Para malaikat (Jibril, Mikail, Israfil) berkata: “Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah swt? itu adalah rahmat dan berkah dari Allah swt yang dicurahkan kepada kamu wahai Ahlul Bait (keluarga Nabi Ibrahim as), sesungguhnya Allah swt Maha Terpuji lagi Maha Pengasih.[2] Dapat pula dilihat pada: (Tafsir Munir, As-Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi. juz I h.389-390), (Hassiyah Al-Alamatus-Shawiy Ala Tafsir Al-Zalalain, As-Syaikh Ahmad Shaawiy Al-Maki. Juz III h. 221-223)
#x»ydur ë=»tGÏ. çoYø9tRr& Ô8u‘$t6ãB çnqãèÎ7¨?$$sù (#qà)¨?$#ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? (الانعام: 155)
Artinya: “Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang di berkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat, ( QS. Al – An’am :155 )
Oleh sebab itu, setiap kebaikan atau keberuntungan pada suatu hal bisa disebut sebagai barokah. Semisal kitab al-Ajjurmiyah yang telah beratus-ratus tahun menjadi kurikulum dasar bahasa Arab di berbagai lembaga pendidikan Islam, bisa dikatakan bahwa kitab tersebut adalah kitab yang barokahnya banyak. Sebuah keluarga yang harmonis dan dipenuhi nilai-nilai sakinah, mawaddah wa rahmah bisa disebut keluarga yang penuh barokah. Begitu pula seorang santri yang telah pulang dari pesantren dan mampu mengamalkan serta menyebarkan ilmunya di tengah masyarakat bisa pula dinilai sebagai santri yang memperoleh barokah ilmunya.[3]
Dari makna-makna barokah di atas, secara sederhana tabarruk atau ngalap berkah bisa diartikan sebagai upaya seseorang untuk memperoleh kebaikan atau keberuntungan dalam setiap lini kehidupannya.[4]

B.     TINJAUAN HUKUM TABARUK
Perkataan Tabarruk bukanlah suatu perkataan yang sekarang ini timbul, tetapi dalam Al–Qur’an dan hadits perkataan tabarruk ada di dalamnya. Namun perkataan tabarruk ini bukan hanya suatu perkataan kosong, akan tetapi ini suatu perbuatan yang dilakukan oleh para Nabi, sahabat, dan orang–orang shaleh.[5]
Seperti telah disinggung dalam bab Ziarah kubur, tabarruk tiada lain adalah satu pola keberagaman dan cara berdoa orang Islam dari zaman Nabi SAW. Sampai sekarang. Subtansi tabarruk adalah praktek tawassul. Sebab, keduanya sama- sama merupakan salah satu cara berdo'a atau upaya untuk meluluskan harapan. Baik mendatangkan kebaikan ataupun menghindarkan petaka.[6] Maka tabarruk termasuk salah satu anjuran syari'at dalam firman Allah SWT. 
ياايهاالدين أمنوا اتقوا آلله وآبتغوا إليه آلوسيلة وجهدوا فى سبيله لعلكم تفلحون
”Hai orang- orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dan carilah wasilah (amal atau sebab) yang mendekatkan diri kepada-Nya,dan berjihadlah pada jalan-Nya,supaya kamu mendapat keberuntungan."(QS. Al-Maidah:35)
Begitu pula ayat lain yang menceritakan tabarruk Nabi Nabi Yusuf AS. Dengan baju gamisnya untuk menyembuhkan mata Sang Ayahanda yang sempat buta, Nabi Ayyub AS.
 اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِين
" Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini,lalu letakkan pada wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku." (QS. Yusuf:93)
Atau kisah tentang kaum Tsamud, umad Nabi Shaleh AS.
ولقد كذ ب أصحب الحجر المرسلين
"Dan sesungguhnya penduduk- penduduk al-Hijr telah mendustakan rasul- rasul." (QS. Yusuf: 93)
            Mengomentari ayat tersebut Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata:
“kemudian dalam ayat ini, yang hukum dan perkaranya telah dijelaskan Nabi, ada delapan masalah yang dirumuskan oleh ulama,........ dan yang kelima adalah perintah Nabi SAW. kepada para sahabat untuk mengambil air dari sumur (yang didekati) unta menjadi dalil atas tabarruk dengan atsar para Nabi dan Shalihin, kendati masa mereka telah lewat dan atsarnya sudah tidak jelas”.
            Maksud perintah Nabi SAW. kepada para sahabat di atas adalah perintah beliau dalam hadis:
 عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ، أَخْبَرَهُ، أَنَّ النَّاسَ نَزَلُوا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحِجْرِ - أَرْضِ ثَمُودَ - فَاسْتَقَوْا مِنْ آبَارِهَا، وَعَجَنُوا بِهِ الْعَجِينَ «فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُهَرِيقُوا مَا اسْتَقَوْا، وَيَعْلِفُوا الْإِبِلَ الْعَجِينَ، وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَسْتَقُوا مِنَ الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَرِدُهَا النَّاقَةُ»،
            “Dari Nafi’, sungguh Abdullah bin Umar bercerita tentang rombongan yang beristiraha bersama Rasulullah SAW. di desa Hijr,[7]bumi kaum Tsamud, kemudian mereka mengambil air dari sumur-sumurnya dan membuat adonan makanan dengannya. Lalu Rasulullah SAW. memerintahkan mereka agar menumpahkan air yang telah diambil dan memberi makan unta dengan adonan makanan tersebut, serta memerintahkan mereka mengambil air dari sumur yang didekati unta” (HR. Muslim)
            Maka seperti halnya dalam tawassul, orang-orang shaleh ditabarruki sebab khusnuzhan atas keistimewaan dan kedekatan mereka di sisi Allah SWT. petilasan, peninggalan dan kuburan semisal, dicari barakahnya sebab kemuliaan orang shaleh yang pernah menyinggahinya atau menempatinya. Sebuah benda dijadikan media tabarruk sebab keagungan pemiliknya, seperti sampul mushaf al-Qur’an yang mempunyai barakah, wajib dimuliakan dan haram dihina, tiada lain karena telah menjadi sampul kitab yang mulia. Kendati begitu, aliran barakah yang diperoleh bukan berarti murni darinya tanpa campur tangan Allah Ta’ala sebagai sumber bearakah itu sendiri.[8] 
Adapun pendapat para ulama yang membolehkan tabarruk yaitu:
1.      Al–Hafidz Ibnu Hajar membolehkan tabarruk dengan ayat–ayat Al–Qur’an bahkan dalam hal ini tidak terdapat larangan, karena tujuannya untuk memperoleh berkah dengan adanya ayat–ayat Al–Qur’an.[9]
2.      Imam Muhammad bin Abdul Wahab membolehkan tabarruk yang berasal dari ayat–ayat Al–Qur’an karena mengharap berkah.[10]
3.      Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Ahmad) membolehkan tabarruk dengan peninggalan–peninggalan Nabi. Bahkan ayahnya sendiri yaitu Imam Ahmad mengambil berkah dengan rambut Nabi saw, yang pada saat itu Imam Ahmad menaruh sehelai rambut Nabi di atas bibirnya dan mengecupnya, kemudian meletakan rambut tersebut di atas matanya dan memasukan rambut tersebut pada sebuah bejana yang berisi air kemudian meminumnya dengan tujuan meminta kesembuhan.[11]
4.      Syekh Az–Zarqoni Al–Maliki menfatwakan bahwa mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka tidak makruh.
5.      Syekh Ar–Ramli As–Syafi’i berfatwa bahwa jika kuburan Nabi, wali atau orang alim disentuh atau pun dicium untuk tujuan tabarruk maka tidak mengapa.[12]
6.      Al–Ustaz Dr. Hassan As–Syekh Al–Fatih As–Syekh Qaribullah, beliau mengatakan bahwa perbuatan tabarruk adalah suatu pengamalan yang ada dalam syara’, karena tabarruk di terangkan dalam Al–Qur’an. Bahkan amalan ini dikuatkan dengan wujudnya peninggalan–peninggalan serta benda–benda yang orang bertabarruk dengannya, tanpa mengira masa dan ketika, bagi keseluruhan umat Nabi Muhammad saw. tabarruk diperkuat lagi dengan kenyataan yang terkandung di dalam hadis–hadis dalam bentuk kata–kata Nabi, perbuatan Nabi serta persetujuan Nabi untuk menguatkan apa yang tertera di dalam Al–Qur’an mengenai kewujudan serta pengamalan tabarruk ini.[13]
7.      SYAHAMAH (Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah) yang diwakilkan oleh Ust. Muhyiddin Fattah, Lc. Beliau mengatakan bahwa tabarruk itu di bolehkan dan tidak ada larangan selama tidak ada unsur yang menyalahi sya’ra. Beliau pun mengatakan tentang tabarruk melalui sebuah nadzam. Inti sari yang terkandung dalam nadzham tersebut antara lain:
Bahwa bertabarruk kepada Nabi saw itu diperbolehkan selama tidak menyalahi hukum yang berlaku, contohnya seperti “Imam Ahmad mengambil berkah dengan rambut Nabi saw yang pada saat itu, Imam Ahmad menaruh sehelai rambut Nabi saw di atas bibirnya dan mengecupnya, kemudian meletakan rambut tersebut di atas matanya dan memasukan rambut tersebut pada sebuah bejana yang berisi air kemudian ia meminumnya dengan tujuan meminta kesembuhan.
Seperti juga Nabi Muhammad saw meletakan tangannya ke kepala handzalah kemudian Nabi saw mengatakan “Barakallah Fikum” (Semoga Allah swt memberkatimu). Tujuannya adalah mendatangkan kebaikan untuk orang yang bersangkutan yaitu Handzalah melalui do’anya orang saleh yaitu Nabi saw.
Melihat kenyataan di atas bahwa bertabarruk diperbolehkan dalam Islam terutama kepada orang-orang yang saleh seperti Nabi Muhammad saw, sahabat Nabi saw, dan para waliyullah.[14]
Adapun pendapat ulama yang melarang secara mutlak baik menggunakan ayat–ayat Al–Qur’an yang dibuat jimat–jimat atau ditulis dan sebagainya dengan berbagai macam pendapat, pendapat–pendapat tersebut ialah:
1.      Yusuf Qardhawy melarang pemakaian jimat–jimat keseluruhannya, pemilihan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: Pertama. Keumuman larangan menggunakan jimat, yang mana nash–nash yang ada tidak memebedakan antara jenis jimat yang satu dengan jimat yang lainnya, dan juga tidak di dapatinya nash yang mengkhususkannya. Kedua, Tindakan pencegahan, sehingga tidak melebar kepada pemakaian jimat yang bukan berasal dari Al–Qur’an dan dzikrullah. Ketiga, Jika seseorang menggantungkan (memakai) jimat, maka pasti ia akan menghinakannya, dengan membawanya ketika membuang hajat, atau ketika dalam keadaan junub dan sebagainya. Keempat, Bahwasanya Al–Qur’an hanya di turunkan agar menjadi hidayah dan manhaj (pedoman hidup) bagi kehidupan, bukan untuk di ambil sebagai jimat atau penyekat–penyekat (sejenis jimat) dan lain–lainnya.[15]
2.      Bin Baz (Abdul Aziz) mengatakan bahwa meletakan Al–Qur’an dalam kendaraan (Mobil) untuk mencari berkah (tabarruk) adalah sesuatu yang tidak beraras (tidak ada asalnya) dalam syari’at islam. Dengan kata lain Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa perbuatan semacam itu (tabarruk) merupakan perbuatan bid’ah.
3.      Ibn Utsaimin mengatakan bahwa mengambil berkah dari kisa (kain yang melingkar) ka’bah dan mengusap–usapnya termasuk perbuatan bid’ah karena Nabi tidak pernah mengajarkannya.
4.      Ibn Fauzan menyatakan tabarruk mempunyai arti mencari berkah, penetapan kebaikan, meminta tambahan kebaikan. Permintaan ini harus di minta dari sesuatu yang pemiliknya adalah yang memiliki kemampuan yang tak lain hanyalah Allah swt semata, hanya ia yang mampu menurunkan dan menetapkannya, tiada satu mahluk pun yang mampu memberikan ampunan, memberi berkah, dan menetapkannya. Atas dasar itu tidak boleh mengambil berkah dari tempat–tempat, peninggalan–peninggalan atau pun seseorang, baik yang masih hidup atau pun yang telah mati karena hal itu bisa masuk kategori syirik.[16]
Meskipun begitu tidak seyogyanya bagi seorang muslim bersikap keras di dalam mengingkari jimat–jimat jika berasal dari Al–Qur’an dan dzikrullah dalam mencari berkah, atau menganggapnya merupakan kemungkaran yang harus di ubah dengan tangan (kekuasaan), karena sudah menjadi keputusan bahwa : “Tidak (boleh) ada pengingkaran dalam masalah–masalah Ijtihadiyah Khilafiyah (masalah–masalah yang masih menjadi perbedaan pendapat dan berpeluang untuk melakukan ijtihad)”. Walaupun hak setiap muslim yang puas dengan suatu pendapat untuk membuktikan dalil yang kuat atas kebenaran pendapat yang dianutnya, dan menerangkan kesalahan pendapat yang lain dengan cara yang lemah lembut dan bijaksana tanpa mencela atau melukai hati orang lain dan tanpa di sertai kekerasan di dalam menjelaskannya.[17]


C.    PERMASALAHAN SEPUTAR TABARRUK YANG TERJADI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
1.      Orang-orang Shaleh yang diharap Barakahnya
Pada dasarnya setiap muslim bisa saja diharapkan barakahnya. Sebab, denngan kemuslimannya berarti Allah SWT. telah memberinya kebaikan atau barakah. Namun pada faktanya, yang sering dilakukan para sahabat Nabi maupun ulama’ hanyalah bertabarruk kepada para shalihin saja. tingkat keberhasilannyapun relatif tinggi. Lalu siapa yang dimaksud dengan shalihin dalam hal ini? Seperti yang diutarakan oleh para ulama’, predikat shaleh bisa diterjemahkan dalam dua makna:
a.       Muslim, siapa saja yang beragama Islam.
b.      Orang yang konsisten memenuhi hak-hak Allah SWT. dan sesamanya, yang terdiri dari para Nabi, shadiqin, syuhada’ dan orang-orang shaleh setingkat di bawah mereka.
Maka sudah selayaknya orang yang diharapkan barakahnya adalah orang shaleh dengan makna yang kedua. Bisa mencakup siapa saja yang konsisten menjalankan Agamanya, baik jalur vertikal kepada Allah SWT. ataupun jalur horizontal kepada para sesama. Bisa saja para Wali, Kyai ataupun yang lainnya asalkan benar-benar konsisten dalam menjalankan agamanya. Selaras dengan rumusan para ulama’ tentang makam yang boleh dibangun secara permanen hanyalah makam orang-orang shaleh, agar mudah diziarahi dan dicari barakahnya.[18]
2.      Tabarruk dengan Kuburan Waliyullah
Seringkali kita jumpai di makam para Wali, banyak orang yang mencari barakahnya dengan berbagai cara. Ada yang cukup mengambil air sumur yang ada disana, maupun dengan cara mencium makamnya. Namun kita tidak bijak bila terburu-buru menganggapnya salah. Sebab dewasa ini terbukti bahwa air yang telah diberi do’a atau terletak di samping benda yang memberinya informasi positif bisa menjadi penyembuh berbagai penyakit.
Adalah Dr. Masaru Emoto, sarjana asal Jepang, telah berhasil melakukan penelitian tentang air yang diberi informasi (dilabeli) positif dan negatif. Air yang dilabeli negati seperti kata-kata “kamu bodoh”, akan bereaksi dengan membentuk kristal-kristal yang tidak beraturan. Sebaliknya, bila diberi lebel positif, seperti kata “terimakasih” atau “sayang”, maka akan bereaksi dengan membentuk kristal heksagonal (segi enam) yang indah. Bahkan Masaru berhasil menyembuhkan penyakit jantung bawaan (infantile heart hypertrophy) seorang bayi dengan air hado (energi abstrak) dari hasil penelitiaannya. Masih menurut Masaru, hado tidak hanya berada dalam air, namun pada semua benda di dunia, yang bisa berbentuk positif ataupun negatif dan mudah dipindah dari satu benda ke benda yang lain.
Di lain pihak, para ulama’ merumuskan bahwa penghormatan kepada para ahli kubur sepeninggalan mereka mesti dilakukan sebagaimana saat mereka masih hidup. Meskipun menyentuh dan mencium kuburan ataupun nisan di atasnya dinilai sebagai perbuatan yang makruh, namun rumusan ini tidak berlaku bagi para Nabi, Wali dan semisalnya bila bertujuan tabarruk.[19]
3.      Tabarruk dengan Selain Rasulallah SAW
Dewasa ini ada beberapa orang yang tidak setuju pada tabarruk dengan para shalihin atas dasar beberapa alasan sebagai berikut:
a.       Barakah yang diberika kepada Nabi merupakan keistimewaan darinya. Orang lain tidak bisa dikiaskan pada beliau. Sebab, mereka tidak bisa dipastikan keshalehannya, sehingga tidak dapat dijadikan media tabarruk.
b.      Para sahabat Nabi tidak melakukan tabarruk pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan beberapa sahabat lain yang dipastikan keshalehannya, hal ini menjadi bukti kebenaran asumsi di atas. Sebab, andaikan orang lain bisa dikiaskan kepada Nabi, tentu para sahabat melakukan tabarruk pada Abu Bakar dan lain sebagainya.
c.       Mencegah pintu kesyirikan, seperti yang telah terjadi pada kaum Nabi Nuh AS.
Namun mayoritas ulama’, semisal al-Nawawi, Ibnu Hajar dan semisalnya memperbolehkan tabarruk pada para shalihin sebagaimana keterangan yang telah lewat. Pendapat para ulama’ tersebut bisa dimaklumi dengan keabsahan tabarruk yang berdasarkan pada:
a)      Khusnuddhon atas kesalehan orang yang dijadikan media tabarruk.
b)      Bukti nyata para sahabat bertabarruk pada selain Nabi. Semisal Abdu al-Rahman bin Auf dan Abllah bin Mas’ud yang berwasiat untuk dimakamkan di dekat Utsman bin Matdghun seperti yang telah disebutkan di bab ziarah Qubur. Meskipun belum diketahui secara pasti para sahabat melakukan tabarruk pada Abu Bakar dan semisalnya. Namun hal ini tidak bisa menafikan kisah Abdu al-Rahma bin Auf dan Ibnu Mas’ud tersebut. selain itu tabarruk telah menjadi warisan para ulama’ dari zaman Nabi hingga sekarang.
Sementara kehawatiran tabarruk akan menyebabkan kesyirikan blom bisa dianggap cukup kuat untuk mencegahnya.[20]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat kami tarik kesimpulan:
1.      barokah adalah rahasia ilahi dan limpahan rahmat yang dengannya Allah tambahkan dan kembangkan amal baik dengan secara kontinyu bisa melakukan kemuliaan pendekatan diri (taqorrub kepadanya). secara sederhana tabarruk atau ngalap berkah bisa diartikan sebagai upaya seseorang untuk memperoleh kebaikan atau keberuntungan dalam setiap lini kehidupannya
2.      mengenai hukum tabarruk, ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkannya, sebegian ulama’ membolehkannya dengan beberapa pengecualian dan sebagian yang lain secara mutlak melarangnya.  
3.      Permasalahan seputar tabarruk yang terjadi di lingkungan masyarakat antara lain:
a.       Orang-orang Shaleh yang diharap Barakahnya.
Orang shaleh disini ialah Orang yang konsisten memenuhi hak-hak Allah SWT. dan sesamanya, yang terdiri dari para Nabi, shadiqin, syuhada’ dan orang-orang shaleh setingkat di bawah mereka.
b.      Tabarruk dengan kuburan Waliyullah.
Para ulama’ merumuskan bahwa penghormatan kepada para ahli kubur sepeninggalan mereka mesti dilakukan sebagaimana saat mereka masih hidup. Meskipun menyentuh dan mencium kuburan ataupun nisan di atasnya dinilai sebagai perbuatan yang makruh, namun rumusan ini tidak berlaku bagi para Nabi, Wali dan semisalnya bila bertujuan tabarruk.
c.       Tabarruk dengan Selain Rasulallah SAW
Dewasa ini ada beberapa orang yang tidak setuju pada tabarruk dengan para shalihin atas dasar berbagai alasan. Namun mayoritas ulama’, semisal al-Nawawi, Ibnu Hajar dan semisalnya memperbolehkan tabarruk pada para shalihin. Pendapat para ulama’ tersebut bisa dimaklumi dengan keabsahan tabarruk yang berdasarkan pada berbagai alasan yang mendukung.


























DAFTAR PUSTAKA
Al Hariri, Asy Syaihk Abdullah. 2002. Al Maqolaatis Sunniyyah Fi Dhalalati Ahmad Ibnu Taimiyyah. Beirut: Da’arul Masaa’rih.

Al–Qardhawy, Yusuf. 1999. Sikap Islam Terhadap Ilham, Kasyaf, Mimpi, Jimat, Perdukunan dan Jampi–Jampi. Jakarta: Bina Tsaqafah.

Gozali, Ahmad. 2009. “Tabarruk Terhadap Benda Keramat Dalam Prespektif Hukum Islam: Studi Kasus Pada Masyarakat Kampung Duri Kecamatan Cengkareng”. Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN) syarif hidayatullah, jakarta.

http://forum.dudung.net/index.php?topic=8975.15. Diunduh pada 08-12-2014.


Ibni Ahmad Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad Wa Ibni Abi Bakri As-Suyuthi, Syekh Al-Mutazar Jalaluddin Abdurrahman. Tt. Tafsir Jalalain. Semarang: Toha Putra.

Muntaha, Ahmad AM dkk. 2010. Kajian Pesantren Tradisi dan  Adat Masyarakat MENJAWAB VONIS BID’AH . lirboyo: Pustaka Gerbang Lama.






[1] Ahmad Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren Tradisi dan  Adat Masyarakat MENJAWAB VONIS BID’AH (lirboyo: Pustaka Gerbang Lama, 2010), 205-206.  
[2] Jalaluddin Muhammad Ibni Ahmad Al-Mahalli Wa Syekh Al-Mutazar Jalaluddin Abdurrahman Ibni Abi Bakri As-Suyuthi. Tafsir Jalalain (Semarang: Toha Putra, tt), 187.

[3] Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren, 207.  
[4] Ibid., 207.  
[5] Ahmad Gozali, “Tabarruk Terhadap Benda Keramat Dalam Prespektif Hukum Islam: Studi Kasus Pada Masyarakat Kampung Duri Kecamatan Cengkareng”, (Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN) syarif hidayatullah, jakarta, 2009), 33.
[6] Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren, 208.  
[7] Desa yang terletak di antar kota Madinah dan Syam.
[8] Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren, 210.  
[9] Yusuf Al–Qardhawy. Sikap Islam Terhadap Ilham, Kasyaf, Mimpi, Jimat, Perdukunan dan Jampi–Jampi (Jakarta: Bina Tsaqafah, 1999), 198.
[10] Ibid., 199
[11] Asy Syaihk Abdullah Al Hariri. Al Maqolaatis Sunniyyah Fi Dhalalati Ahmad Ibnu Taimiyyah (Beirut: Da’arul Masaa’rih, 2002 ) 279.
[13] www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=306
[14] Ahmad Gozali, “Tabarruk Terhadap Benda Keramat Dalam Prespektif Hukum Islam: Studi Kasus Pada Masyarakat Kampung Duri Kecamatan Cengkareng”, (Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN) syarif hidayatullah, jakarta, 2009), 34-36.
[15] Al–Qardhawy, Sikap Islam, 198.

[16] http://forum.dudung.net/index.php?topic=8975.15
[17] Ahmad Gozali, “Tabarruk Terhadap Benda Keramat Dalam Prespektif Hukum Islam: Studi Kasus Pada Masyarakat Kampung Duri Kecamatan Cengkareng”, (Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN) syarif hidayatullah, jakarta, 2009), 38-39.

[18] Muntaha AM dkk. Kajian Pesantren, 225-226.  
[19] Ibid., 226-227.
[20] Ibid., 228-229.

1 komentar:

  1. As reported by Stanford Medical, It is in fact the ONLY reason women in this country get to live 10 years more and weigh 42 pounds less than us.

    (And really, it really has NOTHING to do with genetics or some secret diet and absolutely EVERYTHING to about "how" they eat.)

    BTW, I said "HOW", not "what"...

    Tap this link to discover if this little quiz can help you discover your true weight loss possibility

    BalasHapus