BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qunut
adalah mengharap doa kepada allah namun disini banyak perbedaan dagan VI madzab
dalam hal pelaksanaannya ada yang sebelum ruku’ dan ada juga yang sesudah
ruku’.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
qunut ?
2.
Apa pendapat
qunut VI madzhab ?
3.
Mengapa terjadi
perbedaan pendapat ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian qunut ?
2.
Untuk
mengetahui pendapat qunut VI madzhab ?
3.
Untuk
mengetahui terjadi perbedaan pendapat ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Qunut
Qunut adalah doa mengharap kepada allah swt. Dalam menolak budaya
ataumendatangkan kebaikan yang pelaksanaannya dalam rangkaian pelaksanaan
sebelum ruku’ atau sesudah ruku’ terakhir pada shalat yang dikerjakan. Bagi
syfi’I dan maliki mengatakan bahwa hukum qunut adalah sunnah muakkad pada salat
subuh, padasalat witir setiap tahun pada paruh kedua (malam ke-16) hingga
akhirdan pada salat istisqa (mintak hujan).
2.
Menurut VI
Madzhab
Pada
dasarnya persoalan membaca qunut atau tidak dalam shalat shubuh telah menjadi
perselisihan di kalangan ulama sejak generasi salaf yang shaleh. Menurut Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, membaca qunut tidak disunnahkan dalam
shalat shubuh. Sementara menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i, membaca qunut
disunnahkan dalam shalat shubuh.
Kedua pendapat tersebut, baik yang mengatakan sunnah atau tidak,
sama-sama berdalil dengan hadits-hadits Rasulullah SAW. Hanya pendapat yang
satunya berpandangan bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak
membaca qunut itu lebih kuat. Sementara pendapat yang satunya lagi berpendapat
bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut justru yang
lebih kuat. Jadi pandangan kaum Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa membaca
qunut itu tidak ikut Rasulullah SAW adalah salah dan tidak benar. Nah untuk
menjernihkan persoalan ini, marilah kita kaji dalil tentang qunut ini dari
perspektif ilmu hadits.
Sebagaimana dimaklumi, pandangan Imam al-Syafi’i yang menganjurkan
membaca qunut dalam shalat shubuh diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits, karena
agumentasinya lebih kuat dari perspektif ilmu hadits. Terdapat beberapa hadits
yang menjadi dasar Imam al-Syafi’i dan pengikutnya dalam menganjurkan membaca
qunut dalam shalat shubuh.
Dalil pertama :
عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيْرِيْن قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا. - رواه مسلم في صحيحه
“Dari Muhammad bin Sirin, berkata:
“Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah
SAW membaca qunut dalam shalat shubuh?” Beliau menjawab:
“Ya, setelah ruku’ sebentar.” (HR. Muslim, hadits no. 1578).
Dalil
kedua :
.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا. (رواه أحمد والدارقطني والبيهقي وغيرهم
بإسناد صحيح).
“Dari Anas bin Malik, berkata:
“Rasulullah SAW terus membaca qunut dalam shalat fajar (shubuh) sampai
meninggalkan dunia.
Hadits di atas juga dishahihkan
oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beliau
berkata: “Hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh banyak kalangan huffazh dan
mereka menilainya shahih. Di antara yang memastikan keshahihannya adalah
al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam
beberapa tempat dalam kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga
diriwayatkan oleh al-Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang
shahih.
Sebagian kalangan ada yang
mendha’ifkan hadits di atas dengan alasan, di dalam sanadnya terdapat perawi
lemah bernama Abu Ja’far Isa bin Mahan al-Razi. Alasan ini jelas keliru. Karena
Abu Ja’far al-Razi dinilai lemah oleh para ulama ahli hadits seperti Yahya bin
Ma’in, dalam riwayatnya dari Mughirah saja. Sementara dalam hadits di atas, Abu
Ja’far meriwayatkan tidak melalui jalur Mughirah, akan tetapi melalui jalur
al-Rabi’ bin Anas. Sehingga hadits beliau dalam riwayat ini dinilai shahih.
3.
Perbedaan pendapat VI MADZHAB
Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut
adalah sebagai berikut.
Pertama: Ulama
Malikiyyah
Imam Malik Imam Malik mengatakan bahwa qunut itu
merupakan ibadah sunnah pada shalat subuh dan lebih afdhal dilakukan sebelum
ruku'. Meskipun bila dilakukan sesudahnya tetap dibolehkan. Menurut beliau,
melakukan Qunut secara zhahir dibenci untuk dilakukan kecuali hanya pada shalat
subuh saja. Dan qunut itu dilakukan dengan sirr, yaitu tidak mengeraskan suara
bacaan. Sehingga baik imam maupun makmum melakukannya masing-masing atau
sendiri-sendiri. Dibolehkan untuk mengangkat tangan saat melakukan qunut. 3.
Imam As-Syafi'i ra Imam As-Syafi'i ra mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan
pada shalat subuh dan dilakukan sesudah ruku' pada rakaat kedua. Imam hendaknya
berqunut dengan lafaz jama' dengan menjaharkan (mengeraskan) suaranya dengan
diamini oleh makmum hingga lafaz (wa qini syarra maa qadhaita). Setelah itu
dibaca secara sirr (tidak dikeraskan) mulai lafaz (Fa innaka taqdhi ...),
dengan alasan bahwa lafaz itu bukan doa tapi pujian (tsana`). Disunnahkan pula
untuk mengangkat kedua tangan namun tidak disunnahkan untuk mengusap wajah
sesudahnya. Menurut mazhab ini, bila qunut pada shalat shubuh tidak
dilaksanakan, maka hendaknya melakukan sujud sahwi, termasuk bila menjadi
makmum dan imamnya bermazhab Al-Hanafiyah yang meyakini tidak ada kesunnahan
qunut pada shalat subuh. Maka secara sendiri, makmum melakukan sujud sahwi.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut
kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan
shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama
Syafi’iyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam
shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada
qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam
setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak,
-pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa
musibah (yaitu qunut nazilah).
Ketiga: Ulama
Hanafiyyah
Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak
disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum
muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh
saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak
ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama
Hanabilah (Hambali)
Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut
dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada
musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang
mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak
ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.
Inilah pendapat para imam madzhab. Namun
pendapat yang lebih kuat, tidak disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali
pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak
ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan
ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
Al Hasan bin ‘Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah
diini fiiman hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits ini.
Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga
baik. Hanya
Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash Sholih
Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398).
Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih
spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa
lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan do’a qunut witir
(Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir shalat shubuh?”
Beliau rahimahullah menjelaskan: “Qunut
shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain do’a “Allahummah diini fiiman hadayt
…”), maka di situ ada perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih
tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat
sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum
muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini
mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a
qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.
BAB III
PENUTUP
Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut
shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum
hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan
dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Tidak ada Referensinya
BalasHapusSumber nya dari mana ya ka
BalasHapus