Jumat, 26 Desember 2014

MAKALAH URF



URF SEBAGAI SUMBER ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang sangat penting dalam menjelaskan syari’at-syari’at islam serta dalam menggali hokum yang tidak memiliki nash. Dalam ilmu ushl fiqh ini banyak sekali pembahasan tentang sumber hokum islam selain yang terdapat pada al qur’an dan sunnah. Yakni tentang ijma’, qiyas, istihsan, istishab dan 'urf.
Meskipun terdapat banyak perbedaan mengenai kehujjahan dari 'urf sebagai salah satu sumber hukum islam, namun merujuk pada hadits-hadits nabi dan juga praktek para ulama terdahulu, maka hal itu dapat menunjukkan bahwasannya diperbolehkannya memakai 'urf sebagai sumber hukum islam. Karena pada prinsipnya agama islam menerima dan mengakui  adat dan tradisi dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan al qur’an dan sunnah. Islam tetap melestarikan tradisi yang dianggap baik dalam masyarakat dan mengahpus secara bertahap tradisi yang dianggap bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah.
Maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang kehujjahan 'urf sebagai salah satu sumber hukum islam, yang mana bersumber dari tradisi yang ada pada masyarakat. Yang dilestarikan oleh islam jika membawa pada kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syara’.

2.      Rumusan Masalah
A.    Apa pengertian 'urf ?
B.     Bagaimana kehujjahan 'urf sebagai dalil syara’?
C.     Apa syarat-syarat dari 'urf?
D.    Apa kaidah-kaidah dari 'urf?
E.     Apa saja macam-macam 'urf?



3.      Tujuan Masalah
A.    Untuk mengetahui pengertian 'urf.
B.     Untuk mengetahui kehujjahan 'urf sebagai dalil syara’.
C.     Untuk mengetahui syarat-syarat 'urf.
D.    Untuk mengetahui kaidah-kaidah 'urf.
E.     Untuk mengetahui Untuk mengetahui macam-macam 'urf.

























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi  'Urf
'Urf secara bahasa berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.  Sedangkan secara istilah ‘urf  ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Ada juga yang mendefinisikan bahwa ‘urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai di mana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.[1]
Sedangkan ‘urf atau adat menurut istilah ahli syari’at ialah dua kata yang sinonim atau mempunyai pengertian sama. Menurut istilah ahli syara', tidak ada perbedaan di antara ‘urf dan adat.[2] Dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya.
Maka, dari pengertian di atas urf ialah suatu kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang tidak bertentangan dengan syari'at islam. Namun, jika kebiasaan tersebut bertentangan dengan syari'at islam, maka kebiasaan tersebut dihapus dengan dalil yang ada pada syara'.
B.     Kehujjahan 'Urf
'Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari’at islam. Mengenai kehujjahan urf menurut  pendapat kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya:[3]
1)      Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam surat al A’rof ayat 199:
خُذِ اْلعَفْوَ وَأمُرْ بِاْلعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ اْلجَاهِلِيْنَ.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil hukum.[4]
Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya sesuatu yang sudah lumrah dilakukan manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh syari’at islam meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya baik dalam al qur’an ataupun sunnah.
Selain berdasarkan dalil al qur’an tersebut, ulama Hanafiyah dan Malikiyah juga berhujjah dengan hadits nabi:[5]
مَارَاَهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ.
“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula menurut Allah”.
Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik bagi orang islam berarti hal itu baik pula di sisi Allah yang di dalamnya termasuk juga urf yang baik. Yang mana berdasarkan dalil-dalil tersebut, urf yang baik adalah suatu hal yang baik di hadapan Allah.

2)      Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.[6] Maka dengan hal itu, secara otomatis golongan Imam Syafi’ juga menolak menggunakan urf sebagai sumber hokum islam. Penolakannya itu tercermin dari perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah membuat hukum”.   
Bahkan dalam kitab ‘Risalah’-nya, beliau menyatakan dengan tegas sebagai berikut, yang artinya:[7]
“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukutn tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan ber­dasarkan apa yang dianggap baik (istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedo­mani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya”.
Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau mengemukakan beberapa dalil (argumen) sebagai dasar dari penolakannya, sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah dan al-Umm. Ia mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits, di antaranya:
·         Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ
دِيْنًا.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
·         Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اْلكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً....
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat".
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi’i menolak adanya sumber hukum dari urf, karena beliau menganggap bahwa urf merupakan penetapan suatu hukum yang tidak berdasarkan dalil yang sudah ditetapkan yakni; Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
C.    Syarat-Syarat  'Urf
'Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan berfatwa, tidak lepas dari beberapa syarat yang harus dipenuhi. Maka para ulama ushul fiqh dalam memutuskan perkara disyaratkan sebagai berikut:[8]
a)      'Urf tersebut tidak bertentangan dalil qath’i, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung dalam nash tidak bisa diterapkan. Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi. Apabila urf tersebut bertentangan dengan nash yang umum yang ditetapkan dengan dalil yang dzanni, baik dalam ketetapan hukumnya maupun penunjuk dalilnya, maka urf tersebut berfungsi sebagai takhsis daripada dalil yang dzanni.
b)      'Urf tersebut berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas tersebut, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
c)      'Urf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan urf yang datang kemudian.
  1. Kaidah-Kaidah 'Urf
Diterimanya ‘urf  sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum islam. Maka keadaan urf pun akan selalu mengalami berbagai macam warna. Seperti yang dikatakan oleh ibnu al qoyyim al jauziyah bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dikarenakan adanya perubahan waktu dan tempat, maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Dari berbagai kasus 'urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf, diantaranya:[9]
a)      اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ   
“adat kebiasaan itu bisa menjadi hokum”.
b)       لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلاَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلاَزْمِنَةِ وَ اْلاَمْكِنَةِ.
“Tidak diingkari perubahan hokum disebabkan perubahan zaman dan tempat”.
c)      الْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطً
“Yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat”.
d)     الثَّابِتُ بِاْلعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّاصِ
“Yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (al qur’an atau hadits)”.
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang ditetapkan melalui al-Qur’an dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri.
E.     Macam-Macam 'Urf
Para ulama'  ushl fiqh memaiurf menjadi tiga bagian, diantaranya:
a.       'Urf ditinjau dari segi obyeknya. 'Urf ini dibagi lagi menjadi dua,yakni:[10]
o   'Urf bil lafdzi, yakni kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu. Sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging yang berarti sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging satu kilogram”, pedagang tersebut langsung mengambilkan daging sapi. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
o   'Urf bil amali, yakni kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Atau bisa diartikan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang telah menjadi kesepakatan masyarakat dan mempunyai implikasi hukum. Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam jual beli tanpa mengadakan sighat jual beli (ijab qabul). Masyarakat sudah terbiasa dengan cara langsung mengambil barang dan membayar kepada penjual.
b.      Dari segi cakupannya, 'urf terbagi menjadi dua. Yakni:[11]
o   'Urf al ‘am, yakni kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas pada masyarakat dan di seluruh daerah. Kebiasaan tersebut sudah berlaku sejak dahulu hingga sekarang. Urf ini berlaku untuk semua orang di semua negeri dalam suatu perkara. Seperti halnya “istisna’”, yaitu jual beli pesanan atau dengan jasa antar.
o   'Urf al Khas, yakni kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, yang mana di tempat lain terkadang tidak berlaku. Seperti halnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli, maka dapat dikembalikan. Sedangkan untuk cacat yang lainnya dalam barang tersebut, tidak dapat dikembalikan. Atau juga seperti kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.
c.       Dari segi penilaian baik dan buruk, 'urf terbagi menjadi dua. yakni:
o   ‘Urf  shahih ialah suatu hal yang sudah dikenal oleh khalayak ramai yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nash, tidak melupakan maslahat dan tidak menimbulkan mafsadah. Contoh lainnya ialah kebiasaan masyarakat menyerahkan sebagian mahar secara kontan dan menangguhkan sebagian yang lainnya. Contoh lagi, ialah kebiasaan seseorang memberikan hadiah kepada calon pengantin putri berupa kue, pakaian dan lain-lainnya. Hadiah tersebut tidak bisa disebut sebagai mahar tetapi merupakan hadiah biasa. Adapun ‘urf shahih, maka harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Bagi seorang mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum.
o   ‘Urf fasid ialah kebiassaan yang sudah dikenal orang banyak, tetapi bertentangan dengan syari’at islam atau keadaannya memang dapat mengundang madharat atau melupakan maslahat.  Misalnya; berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram,  membunuh anak perempuan yang baru lahir, melewatkan kewajiban shalat dalam pesta perkawinan atau yang sebangsanya, mengambil keuntungan riba dalam usaha jasa keuangan.





BAB III
KESIMPULAN
1.      Urf adalah suatu kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang tidak bertentangan dengan syari'at islam.
2.      Syarat-syarat urf diantaranya:
·         Urf tersebut tidak bertentangan dalil qath’i.
·         Urf tersebut berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas tersebut, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
·         Urf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan urf yang datang kemudian.
3.      Kehujjahan urf menurut para ulama diantaranya:
·         Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk menetapkan hukum islam.
·         Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i betul-betul menjauhinya untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.
4.      Macam-macam berdasarkan dari berbagai segi yakni:
a)      Dari segi obyeknya:
·         Urf bil lafdzi, yakni kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu.
·         Urf bil amali, yakni kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan.
b)      Dari segi cakupannya:
·         Urf al ‘am, yakni kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas pada masyarakat dan di seluruh daerah.
·         Urf al Khas, yakni kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, yang mana di tempat lain terkadang tidak berlaku.
c)      Dari segi  penilaian baik dan buruk:
·         Urf shahih, suatu hal yang sudah dikenal oleh khalayak ramai yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nash.
·         Urf fasid, kebiassaan yang sudah dikenal orang banyak, tetapi bertentangan dengan syari’at islam atau keadaannya memang dapat mengundang madharat atau melupakan maslahat.




















DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab. 1993. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali.

Syafe’i, Rachmat. 2010.  Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

Uman, Chaerul dkk. 2000. Ushul Fiqh 1. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

http://rasail.wordpress.com/2012/05/25/157/ , diakses hari sabtu, 22 November 2014.
       



[1] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali, 1993), 134.
[2] Ibid., 134
[3] Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqh 1 (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2000), 166.
[4] Ibid., 167.
[5] Ibid,. 167.
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010),112.
[7] http://rasail.wordpress.com/2012/05/25/157/ , diakses hari sabtu, 22 November 2014.

[8] Uman, Ushul Fiqh 1,   164.
[9] Ibid., 168.
[10] Ibid., 160.
[11] Ibid., 162.

1 komentar:

  1. Water Hack Burns 2lb of Fat OVERNIGHT

    More than 160 000 men and women are hacking their diet with a simple and secret "liquids hack" to burn 2lbs each and every night in their sleep.

    It is very simple and it works on everybody.

    You can do it yourself by following these easy steps:

    1) Go get a glass and fill it with water half glass

    2) Now follow this strange hack

    and you'll become 2lbs skinnier when you wake up!

    BalasHapus