TALQIN MAYYIT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Modernisasi Islam dewasa ini telah mengenalkan ragam tradisi dan
budaya tertentu, baik dikalangan Fuqaha’, Muhadits dan Mutakallim. Tentu bukan
merupakan suatu keniscayaan bagi timbulnya perbedaan pemahaman dalam melakukan
pendekatan terhadap teks-teks islam baik itu Al-Qur’an ataupun Hadits
Nabawiyyah.
Islam telah mengajarkan ummatnya tentang Talqin terhadap seseorang
yang mengalami sakaratul maut, hal itu tertera dalam suatu hadits. Namun ada
beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama’ salaf, khususnya dikalangan
ulama fiqih dan ulama hadits yang mempunyai pandangan berbeda di dalam memahami
hadits tentang adanya talqin. Talqin dalam islam diketahui ada dua macam,
diantaranya talqin terhadap seseorang yang akan menghadapi kematian dan talqin
setelah penguburan atau setelah menghadapi kematiannya. Problematika yang
terjadi dalam memahami talqin tersebut dikarenakan perbedaan para ulama dalam
memahaminya, ada yang memahami dengan tekstual dan ada pula yang masih
mengkontekstualkan suatu hadits Nabi Saw.
KH. Ahmad Dahlan dan Kh. Hasyim Asy’ari itu
sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits dan
sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat
kesepakatan menyebarkan Islam menurut skil dan lingkungan masing-masing. Kiai
Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari
Kuto Ngayogyokarto. Sementara Kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena
wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia.
Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini
dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad
mendirikan organisasi Muhammadiyah dan Kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama
(NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat
umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.
Di Indonesia misalnya kita mengenal dua
oraganisasi besar yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, pada makalah ini akan
di uraikan bagaimana polemik seputar perbedaan talqin dalam pandangan NU dan
MU.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Talqin menurut prespektif Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami talqin dalam sudut pandang Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi dan
tujuan Talqin.
Talqin berasal dari kata لقن yang secara bahasa berarti pengajaran, sedangkan menurut istilah
bermakna ajaran atau mengajarkan seseorang yang sedang dalam perjalanan menuju
maut atau kematian, dalam kitab Mu’jam Lughatil Fuqaha’ juz 1 halaman
145 yakni memahamkan dengan ucapan sedangkan di dalam kamus Al-Marbawi
halaman 225 adalah mengajar dan memberi ingat.
Talqin juga dapat diartikan menuntun mayit yang telah dikubur
dengan dua kalimat syahadat, hal ini senada dengan apa yang termaktub dalam
kitab I’anah Ath-Thalibin dari perkataan Sayyed Al-Bakrie Al-Damyati
bahwa “Aku telah melihat dalam
Hasyiah Barmawi ala Sinmim: disunatkan talqin mayat sesudah dikebumikan dan
meratakan tanah”.[1]
Adapun tujuan dari sunnahnya talqin dalam islam adalah :
وَالْمَقْصُودُ
مِنْ التَّلْقِينِ تَذْكِيرُهُمْ بِمَا يُجِيبُونَ بِهِ السَّائِلَ لَهُمْ.
Tujuan dari pada talqin adalah mengingatkan mereka akan
jawaban pertanyaan yang diajukan penanya terhadap mereka.[2]
Dari kedua definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
talqin di dalam islam terdapat dua macam talqin yakni talqin kepada seseorang
yang sedang sakaratul maut dan talqin kepada mayit yang telah dikuburkan, yang
masih menjadi problematika ummat islam Indonesia adalah talqin yang ke dua
yakni talqin terhadap mayit yang telah dikuburkan, karena dasar yang di pakai
adalah hujjah para ulama meski tidak dengan hadits shahih. Dalam pembahasan
berikutnya akan diuraikan talqin dalam pandangan Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama.
B.
Talqin sunnah menurut
Muhammadiyah.
ü Talqin Sunnah.
Talqin dikalangan Muhammadiyah merupakan sunnah, menurut penuturan
Syafruddin Edi Wibowo. Lc. M.ag. talqin dilakukan kepada orang yang akan
menghadapi kematian atau sedang dalam sakaratul maut sebagaimana disebutkan dalam
beberapa hadits Nabi Saw bahwa Beliau Saw bersabda :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالْأَرْبَعَةُ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Ajarilah orang-orang yang hendak meninggal dunia
di antara kalian ucapan laa ilah illallah”.[3](Ibnu
Hajar dalam Bulughul Maram no 501 mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan
oleh Muslim dan kitab hadits yang empat [Nasai, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu
Majah,”).
Dari Mu’adz bin Jabal r.a. juga meriwayatkan
bahwa rasulullah Saw. bersabda,
مَنْ كاَنَ
آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa yang akhir
perkataannya (sebelum meninggal) adalah ucapan tiada tuhan selain Allah, maka
ia akan masuk surga.”
Talqin dilakukan ketika orang yang mengalami
sakratulmaut tidak melafalkan kalimat syahadat. Jika ia telah melafalkan
kalimat syahadat, maka talqin tidak perlu dilakukan. Talqin juga ditujukan
kepada orang yang sadar dan mampu berbicara; karena orang yang akalnya hilang
tidak mungkin ditalqin. Sementara itu, orang yang tidak mampu berkata,
hendaknya mengulang-ulang kalimat syahadat di dalam hatinya.[4]
Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Apa yang perlu dilakukan oleh orang yang duduk di
dekat orang yang hendak meninggal dunia? Apakah membaca surat Yasin di dekat
orang yang hendak meninggal dunia adalah amal yang berdasar hadits yang shahih atau
tidak?”.
Jawaban beliau, “Membesuk orang yang sakit adalah salah satu hak sesama muslim, satu
dengan yang lainnya. Orang yang menjenguk orang yang sakit hendaknya
mengingatkan si sakit untuk bertaubat dan menulis wasiat serta memenuhi
waktunya dengan berdzikir karena orang yang sedang sakit membutuhkan untuk
diingatkan dengan hal-hal ini.
Jika si sakit dalam keadaan sekarat dan orang-orang di sekelilingnya merasa yakin bahwa si sakit hendak meninggal dunia maka sepatutnya orang tersebut ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana perintah Nabi.
Jika si sakit dalam keadaan sekarat dan orang-orang di sekelilingnya merasa yakin bahwa si sakit hendak meninggal dunia maka sepatutnya orang tersebut ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana perintah Nabi.
Orang yang berada di dekat orang yang sedang sakaratul maut hendaknya
menyebut nama Allah (baca: laa ilaha illallah) di dekatnya dengan
suara yang bisa didengar oleh orang yang sedang sekarat sehingga dia menjadi
ingat. Para ulama mengatakan dia sepatutnya menggunakan kalimat perintah untuk
keperluan tersebut karena boleh jadi dikarenakan sedang susah dan sempit dada
orang yang sekarat tadi malah tidak mau mengucapkan laa ilaha illallah sehingga
yang terjadi malah suul khatimah. Jadi orang yang sedang sekarat tersebut
diingatkan dengan perbuatan dengan adanya orang yang membaca laa ilaha illallah
di dekatnya.
Sampai-sampai para ulama mengatakan bahwa jika setelah diingatkan untuk
mengucapkan laa ilaha illallah orang tersebut mengucapkannya maka
hendaknya orang yang mentalqin itu diam dan tidak mengajaknya berbicara supaya
kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah. Jika
orang yang sedang sekarat tersebut mengucapkan sesuatu maka talqin hendaknya
diulangi sehingga kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha
illallah. (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/40, Asy
Syamilah).
Muhammadiyah mengamalkan suatu hadits shahih yakni mentalqin orang yang
hendak meninggal dunia, bukan yang telah meninggal dunia. Adapun
talqin kepada mayit yang telah meninggal dunia yang telah usai dikuburkan maka
diartikan bukan dengan talqin, namun hanya cukup sekedar do’a, Yang disyari'atkan ketika menguburkan mayat
adalah mengucapkan: Bismillah wa 'ala millati rasulillah atau bismillah wa 'ala
sunnati rasulillah (HR Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah dari Ibnu 'Umar
dan dishahihkan Syeikh Al-Albany).
Dan setelah menguburkan mayit adalah mendoakan dengan ampunan dan penetapan
dalam menjawab pertanyaan, sebagaimana dalam hadist, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam jika selesai menguburkan orang beliau berdiri dan
mengatakan :
استغفِروا لأخيكم واسألوا له التثبيتَ فإنه الآن يُسْأَل
"Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian dan mintalah ketetapan untuknya karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya" (HR.Abu Dawud, dari 'Utsman bin Affan, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany.
Adapun pandangan terhadap suatu perkataan
Taabi’in tentang hadits yang berlafal :
وَعَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ – أَحَدِ التَّابِعِينَ – قَالَ :
كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ ، وَانْصَرَفَ
النَّاسُ عَنْهُ .أَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ : يَا فُلَانُ ، قُلْ : لَا إلَهَ
إلَّا اللَّهُ ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، يَا فُلَانُ : قُلْ رَبِّي اللَّهُ ، وَدِينِي
الْإِسْلَامُ ، وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ، رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًا – وَلِلطَّبَرَانِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ
مَرْفُوعًا مُطَوَّلًا .
Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabiin, “Mereka (yaitu para shahabat
yang beliau jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan
para pengantar jenazah sudah bubar supaya dikatakan di dekat kuburnya, ‘Wahai
fulan katakanlah laa ilaha illallah 3x. Wahai fulan, katakanlah
‘Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad” Dalam
Bulughul Maram no hadits 546, Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan oleh Said
bin Manshur secara mauquf (dinisbatkan kepada shahabat). Thabrani meriwayatkan
hadits di atas dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Said
bin Manshur namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi).
Muhammad Amir ash Shan’ani mengatakan, “Setelah membawakan redaksi
hadits di atas al Haitsami berkata, ‘Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath
Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dan dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi
yang tidak kukenal’. Dalam catatan kaki Majma’uz Zawaid disebutkan bahwa dalam
sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Ashim bin
Abdullah dan dia adalah seorang perawi yang lemah…. Al Atsram
mengatakan, ‘Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang apa yang dilakukan
oleh banyak orang ketika jenazah telah dimakamkan ada seorang yang berdiri dan
berkata, ‘Wahai fulan bin fulanah’. Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak
mengetahui ada seorang pun yang melakukannya melainkan para penduduk daerah
Syam ketika Abul Mughirah meninggal dunia. Tentang masalah tersebut
diriwayatkan dari Abu Bakr bin Abi Maryam dari guru-guru mereka bahwa mereka,
para guru, melakukannya”. Menganjurkan talqin semacam ini adalah pendapat para
ulama bermazhab Syafii.
Dalam Al Manar Al Munif, Ibnul Qoyyim mengatakan, “Sesungguhnya hadits
tentang talqin ini adalah hadits yang tidak diragukan oleh para ulama hadits
sebagai hadits palsu. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam
sunannya dari Hamzah bin Habib dari para gurunya yang berasal dari daerah Himsh
(di Suriah, Syam). Jadi perbuatan ini hanya dilakukan oleh orang-orang Himsh.
Dalam Zaadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim juga berkata tegas sebagaimana
perkataan beliau di Al Manar Al Munif. Sedangkan di kitab Ar Ruuh, Ibnul Qoyyim
menjadikan hadits talqin di atas sebagai salah satu dalil bahwa mayit itu
mendengar perkataan orang yang hidup di dekatnya. Terus-menerusnya talqin
semacam ini dilakukan dari masa ke masa tanpa ada orang yang mengingkarinya,
menurut Ibnul Qoyyim, sudah cukup untuk dijadikan dalil untuk mengamalkannya.
Akan tetapi di kitab Ar Ruuh, beliau sendiri tidak menilai hadits talqin di
atas sebagai hadits yang shahih bahkan beliau dengan tegas mengatakan bahwa
hadits tersebut adalah hadits yang lemah.
Syeikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang kapankah waktu talqin. Jawaban
beliau,“Talqin itu dilakukan ketika hendak meninggal dunia yaitu pada saat
proses pencabutan nyawa. Orang yang hendak meninggal ditalqin laa ilaha
illallah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika pamannya, Abu Thalib
hendak meninggal dunia. Nabi mendatangi pamanya lantas berkata, ‘Wahai pamanku,
ucapkanlah laa ilaha illallah, sebuah kalimat kalimat yang bisa kugunakan untuk
membelamu di hadapan Allah’. Akan tetapi paman beliau tidak mau mengucapkannya
sehingga mati dalam keadaan musyrik.
Sedangkan talqin setelah pemakaman maka itu adalah amal yang
bid’ah karena tidak ada hadits yang shahih dari Nabi tentang hal
tersebut. Yang sepatutnya dilakukan adalah kandungan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud. Nabi jika telah selesai memakamkan jenazah berdiri di dekatnya
lalu berkata, ‘Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah agar dia
diberi keteguhan dalam memberikan jawaban. Sesungguhnya sekarang dia sedang
ditanya’. Adapun membaca Al Qur’an, demikian pula talqin di dekat kubur maka
keduanya adalah amal yang bid’ah karena tidak ada dalil yang
mendasarinya” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/42, Asy Syamilah).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Muhammadiyah meyakini talqin kepada seorang yang hendak meninggal dunia dengan
hujjah dan pendekatan dari aspek hadits shahih dan hujjah beberapa pendapat Ulama
salaf. Dan mengapa tidak mentalqin seorang mayit atau seorang yang telah
meninggal dunia atau yang telah dikuburkan, disebabkan karena memiliki hujjah
yang mendasar pada pendapat sebagian ulama bukan kepada hadits-hadits shahih.
C.
Talqin sunnah
menurut Nahdhatul Ulama.
Talqin sunnah dikalangan Nahdhatul Ulama sama
halnya dengan talqin sunnah dikalangan Muhammadiyah, yakni mentalqin seseorang
yang hendak meninggal dunia atau sedang mengalami sakratulmaut. Namun ada suatu
hal yang menarik dikalangann Nahdiyyin tentang masalah talqin yakni talqin
terhadap mayit yang telah dikuburkan, hal ini tidak hanya dianggap tradisi baik
dikalangan NU bahkan disunnahkan atau dianjurkan oleh beberapa ulam fiqh yang
masih menjadi perdebatan dikalangan Ulama salaf ataupun Ulama khalaf,
dikarenakan hadits yang diamalkan dalam talqin tradisi adalah hadits dha’if
yang derajatnya sampai pada hadits hasan li ghairihi yang dapat dijadikan
fadha’il dalam beramal.
Berikut teks hadits tentang talqin yang
menjadi kebiasaan masyarakat syam dan Indonesia khususnya, dan kesunnahan ini berdasarkan
sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abi Umamah r.a. :
عن
ابي أمامة رضي الله عنه قال اذا انا مت فاصنعوا بي كما امرنا رسول الله صلى الله
عليه وسلم ان نصنع بموتانا. امرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال اذا مات احد
من اخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم احد على رأس قبره ثم ليقل : يا فلان ابن
فلانة فانه يسمعه ولا يجيب ثم يقول يا فلان بن فلانة فانه يستوى قاعدا. ثم يقول
يافلان بن فلانة فانه يقول: ارشدنا يرحمك الله ولكن لا تشعرون فليقل اذكر ما خرجت
عليه من الدنيا شهادة ان لاإله الاالله وان محمدا عبده ورسوله وانك رضيت بالله ربا
وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرأن إماما فإن منكرا ونكيرا يأخد كل واحد منهما
بيد صاحبه. ويقول انطلق بنا ما يقعدنا عند من قد لقن حجته. فقال رجل يا رسول الله
فان لم يعرف امه؟ قال ينسبه الى امه حواء : يا فلان بن حواء, (رواه الطبراني)
“dari Abi Umamah ra, beliau berkata, jika aku
kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagimana Rasulullah SAW
memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita. Rasulullah SAW
memerintahkan kita, seraya bersabda, “ketika diantara kamu ada yang menunggal
dunia, lalu kamu meratakan debu di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu
diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “wahai
fulan bin fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendebngar apa yang kamu
ucapakan, namun mereka tidak ddapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri
dikuburan) berkata lagi, “wahai fulan bin fulana”, maka simayyit berucap,
“berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu”.
Namun kamu tidak merasakan apa yang aku rasakn di sisni”. Karna itu hendaklah
orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata, “ingatlah suatu engkau keluar
kedalam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan
Nabi Muhammad hamba serta Rasul Allah. Kamu juga telah bersaksi bahwa engkau
akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai tuhanmu, Islam sebagai agamu,
Muhammad sebagai Nabimu, dan Al-Qur’an sebagai menuntun jalanmu.setelah
dibacakan talqin ini malaikaikat MUnkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil
berkata, “marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk dimuka orang yang
dibackan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “setelah itu ada seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. “wahai Rasullulah, bagaiman kalau
kita tidak mengenal ibunay? “Rasulullah menjawab, “kalau seperti itu
dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “wahai fulan bin Hawa”. (HR. Thabrani)[5]
Memang, mayoritas Ulama’ mengatkan bahwa Hadits ini termasuk Hadits
Dha’if, karna ada seorang perowinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan
Hadits. Namun dalam rangka fadh’ilul al-a’mal, hadits ini dapat
digunakan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki
al-Hasani:
وَاَمَّا
تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بعد الدفن فقد قال جماعة وكثبر من اصحابنا باستحبابه وممن نص
على استحبابه القاضى حسين في تعليقه بوصاحبه أبو سعد المتولى في كتابه التتمة والشيخ
الإمام أبو الفتح نصر بن إبراهيم المقدسي والإمام أبو القاسم الرافعي وغيرهم ونقله
القاضي حسين عن الأصحاب ( الأذكار النووية, 206)
“sekalipun
hadits tentang talqin itu merupakan hadits dha’if, namun dapat diamalkan dalam
rangka fadhail al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits itu masuk pada katagori
prinsip yang universal, yakni usaha seorang mukmin untuk member (dan membantu)
saudaranya,serta untuk memperingatkannya karna peringatan itu akan dapat
bermanfaat kepada orang mukmin”. (Majmu’
Fatawi Wa Rasa’il)
kesunnahan talqin yang dilaksanakan ketika mayyit baru dikuburkan
juga disebutkan oleh penuturan Imam Nawawi dalam al-Adzkar:
“membaca talqin untuk mayyit setelah dimakamkam adalah perbuatan
sunnah. Ini adalah pendapat sekelompok Ulama’ serta mayoritas Ulama’
Syafi’iyah. Ulama’ yang mengatakan kesunnahan ini diantaranya adalah Qadli
Husain dalam kitab Ta’liq-nya, sahabt beliau yang bernama Abu Sa’d al-Mutawali
dalam kitabnya al-Tanimmah, Syekh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim
Al-Maqdisi, Imam Abu al-Qosim al-Rifa’I, dan lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir
pendapat ini dari para Sahabat”. (Al-Adzkar,
al- Nawayiyah, 206)
Dari paparan ini, maka pelaksaaan talqin itu tidak bertentangan
dengan ajaran Agama bahakn sangat dianjurkan bahkan Sunnah. Baik dilakukan pada
saat seseorang menjempu ajalnya, atau pada saat mayyit dimakamkan.
Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa
Nahdhatul Ulama’ meyakini talqin sunnah tetap terdapat dua macam, diantaranya
yakni mentalqin seseorang yang sedang dalam keadaaan sakratulmaut dan mentalqin
mayyit yang telah dikuburkan. Dengan Hujjah Hadits-hadits Shahih dan Hadits
Hasan li ghairihi yang disepakati oleh sebagian Ulama’ Syafi’iyyah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Hadits
sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayan
ta`kid, bayan tafsir atau bayan murad terhadap al-Quran yang secara redaksi
dikategorikan zhanniy al-wurud, ternyata mengandung berbagai problem di
dalamnya. Khususnya pada permasalahan seputar Talqin yang telah menjadi
kebiasaan dikalangan muslimin dari zaman Nabi Muhammad Saw hingga kini.
Namun
terdapat beberapa perbedaan furu’iyah dalam memahami suatu hadits, seperti
halnya yang terjadi diantara dua organisasi masyarakat besar di Indonesia yakni
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama dalam amaliyah Talqin yang disunnahkan oleh
Nabi Muhammad Saw.
Muhammadiyah
meyakini dan mengamalkan talqin sunnah itu hanya kepada seseorang yang hendak
meninggal dunia (wafat), dikarenakan didalam pencarian sekaligus pengamalan
suatu kebenaran harus bersandarkan kepada hadits-hadits shahih dan juga
pendapat para Ulama salaf. Oleh karenanya dapat diketahui bahwa Muhammadiyah
sedikit lebih cendrung mengamalkan hadits-hdits shahih dari pada mengamalkan
hadits-hadits dha’if yang lemah kehujjahannya. Singkatnya melakukan pencarian
kebenaran dengan pendekatan aspek hadits.
Sedangkan
Nahdhatul Ulama meyakini dan mengamalkan bahwa talqin sunnah itu terdapat dua
macam yakni talqin terhadap orang yang akan meninggal dunia dan talqin kepada
orang yang meninggal dunia seusai disemayamkan. Hal ini dikarenakan Nahdhatul
Ulama tidak hanya beramal dengan hadits-hadits shahih namun juga beramal dengan
suatu hadits dha’if yang sekiranya dapat menjadi fadha’ilul A’mal didalam
beramal karena dikuatkan oleh pendapat para Ulama Hadits dan Ulama Fiqh.
DAFTAR
PUSTAKA
Sayyed al-Bakri al-Damyathi.
1995. I’anah at-Thalibin. Semarang:Thaha Putra.
Syaikhul Islam Ahmad Syihabuddin ar-Ramliy. Nihayatul
Muhtaj syarah Minhaj. Maktabah
Syamilah.
Imam.
Muslim. Shahih Muslim. Maktabah Syamilah.
Sabiq. Muhammad. 2013. Fiqih Sunnah. Jakarta Pusat:Pena
Pundi Aksara.
Abdus shomzkarad. Mahyuddin.2004. Fiqh
Tradisionalis. M
If you're attempting to burn fat then you absolutely have to try this totally brand new custom keto diet.
BalasHapusTo design this keto diet service, licenced nutritionists, personal trainers, and professional chefs have joined together to develop keto meal plans that are efficient, painless, money-efficient, and satisfying.
Since their launch in January 2019, thousands of clients have already completely transformed their body and health with the benefits a professional keto diet can give.
Speaking of benefits; in this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones offered by the keto diet.
mantp sukron..
BalasHapusCasino site, review & bonus codes - LuckyClub
BalasHapusThe Lucky Club casino is now on our list of online casinos. Check the bonus codes and get luckyclub.live a bonus with the best welcome bonus.Minimum deposit: C$20