Jumat, 26 Desember 2014

MAKALAH TALQIN MAYYIT



TALQIN MAYYIT

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Modernisasi Islam dewasa ini telah mengenalkan ragam tradisi dan budaya tertentu, baik dikalangan Fuqaha’, Muhadits dan Mutakallim. Tentu bukan merupakan suatu keniscayaan bagi timbulnya perbedaan pemahaman dalam melakukan pendekatan terhadap teks-teks islam baik itu Al-Qur’an ataupun Hadits Nabawiyyah.
Islam telah mengajarkan ummatnya tentang Talqin terhadap seseorang yang mengalami sakaratul maut, hal itu tertera dalam suatu hadits. Namun ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama’ salaf, khususnya dikalangan ulama fiqih dan ulama hadits yang mempunyai pandangan berbeda di dalam memahami hadits tentang adanya talqin. Talqin dalam islam diketahui ada dua macam, diantaranya talqin terhadap seseorang yang akan menghadapi kematian dan talqin setelah penguburan atau setelah menghadapi kematiannya. Problematika yang terjadi dalam memahami talqin tersebut dikarenakan perbedaan para ulama dalam memahaminya, ada yang memahami dengan tekstual dan ada pula yang masih mengkontekstualkan suatu hadits Nabi Saw.
KH. Ahmad Dahlan dan Kh. Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan Islam menurut skil dan lingkungan masing-masing. Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari Kuto Ngayogyokarto. Sementara Kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia.
Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan Kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.
Di Indonesia misalnya kita mengenal dua oraganisasi besar yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, pada makalah ini akan di uraikan bagaimana polemik seputar perbedaan talqin dalam pandangan NU dan MU.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Talqin menurut prespektif Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dan memahami talqin dalam sudut pandang Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama .















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi dan tujuan Talqin.
Talqin berasal dari kata لقن yang secara bahasa berarti pengajaran, sedangkan menurut istilah bermakna ajaran atau mengajarkan seseorang yang sedang dalam perjalanan menuju maut atau kematian, dalam kitab Mu’jam Lughatil Fuqaha’ juz 1 halaman 145 yakni memahamkan dengan ucapan sedangkan di dalam kamus Al-Marbawi halaman 225 adalah mengajar dan memberi ingat.
Talqin juga dapat diartikan menuntun mayit yang telah dikubur dengan dua kalimat syahadat, hal ini senada dengan apa yang termaktub dalam kitab I’anah Ath-Thalibin dari perkataan Sayyed Al-Bakrie Al-Damyati bahwa Aku telah melihat dalam Hasyiah Barmawi ala Sinmim: disunatkan talqin mayat sesudah dikebumikan dan meratakan tanah”.[1]
Adapun tujuan dari sunnahnya talqin dalam islam adalah :
وَالْمَقْصُودُ مِنْ التَّلْقِينِ تَذْكِيرُهُمْ بِمَا يُجِيبُونَ بِهِ السَّائِلَ لَهُمْ.
Tujuan dari pada talqin adalah mengingatkan mereka akan jawaban pertanyaan yang diajukan penanya terhadap mereka.[2]

Dari kedua definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa talqin di dalam islam terdapat dua macam talqin yakni talqin kepada seseorang yang sedang sakaratul maut dan talqin kepada mayit yang telah dikuburkan, yang masih menjadi problematika ummat islam Indonesia adalah talqin yang ke dua yakni talqin terhadap mayit yang telah dikuburkan, karena dasar yang di pakai adalah hujjah para ulama meski tidak dengan hadits shahih. Dalam pembahasan berikutnya akan diuraikan talqin dalam pandangan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.

B.     Talqin sunnah menurut Muhammadiyah.
ü  Talqin Sunnah.
Talqin dikalangan Muhammadiyah merupakan sunnah, menurut penuturan Syafruddin Edi Wibowo. Lc. M.ag. talqin dilakukan kepada orang yang akan menghadapi kematian atau sedang dalam sakaratul maut sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits Nabi Saw bahwa Beliau Saw bersabda :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ  رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالْأَرْبَعَةُ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ajarilah orang-orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian ucapan laa ilah illallah”.[3](Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no 501 mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan kitab hadits yang empat [Nasai, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah,”).
Dari Mu’adz bin Jabal r.a. juga meriwayatkan bahwa rasulullah Saw. bersabda,
مَنْ كاَنَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal) adalah ucapan tiada tuhan selain Allah, maka ia akan masuk surga.”
Talqin dilakukan ketika orang yang mengalami sakratulmaut tidak melafalkan kalimat syahadat. Jika ia telah melafalkan kalimat syahadat, maka talqin tidak perlu dilakukan. Talqin juga ditujukan kepada orang yang sadar dan mampu berbicara; karena orang yang akalnya hilang tidak mungkin ditalqin. Sementara itu, orang yang tidak mampu berkata, hendaknya mengulang-ulang kalimat syahadat di dalam hatinya.[4]
Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Apa yang perlu dilakukan oleh orang yang duduk di dekat orang yang hendak meninggal dunia? Apakah membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia adalah amal yang berdasar hadits yang shahih atau tidak?”.
Jawaban beliau, “Membesuk orang yang sakit adalah salah satu hak sesama muslim, satu dengan yang lainnya. Orang yang menjenguk orang yang sakit hendaknya mengingatkan si sakit untuk bertaubat dan menulis wasiat serta memenuhi waktunya dengan berdzikir karena orang yang sedang sakit membutuhkan untuk diingatkan dengan hal-hal ini.
Jika si sakit dalam keadaan sekarat dan orang-orang di sekelilingnya merasa yakin bahwa si sakit hendak meninggal dunia maka sepatutnya orang tersebut ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana perintah Nabi.
Orang yang berada di dekat orang yang sedang sakaratul maut hendaknya menyebut nama Allah (baca: laa ilaha illallah) di dekatnya dengan suara yang bisa didengar oleh orang yang sedang sekarat sehingga dia menjadi ingat. Para ulama mengatakan dia sepatutnya menggunakan kalimat perintah untuk keperluan tersebut karena boleh jadi dikarenakan sedang susah dan sempit dada orang yang sekarat tadi malah tidak mau mengucapkan laa ilaha illallah sehingga yang terjadi malah suul khatimah. Jadi orang yang sedang sekarat tersebut diingatkan dengan perbuatan dengan adanya orang yang membaca laa ilaha illallah di dekatnya.
Sampai-sampai para ulama mengatakan bahwa jika setelah diingatkan untuk mengucapkan laa ilaha illallah orang tersebut mengucapkannya maka hendaknya orang yang mentalqin itu diam dan tidak mengajaknya berbicara supaya kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah. Jika orang yang sedang sekarat tersebut mengucapkan sesuatu maka talqin hendaknya diulangi sehingga kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah. (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/40, Asy Syamilah).
Muhammadiyah mengamalkan suatu hadits shahih yakni mentalqin orang yang hendak meninggal dunia, bukan yang telah meninggal dunia. Adapun talqin kepada mayit yang telah meninggal dunia yang telah usai dikuburkan maka diartikan bukan dengan talqin, namun hanya cukup sekedar do’a, Yang disyari'atkan ketika menguburkan mayat adalah mengucapkan: Bismillah wa 'ala millati rasulillah atau bismillah wa 'ala sunnati rasulillah (HR Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah dari Ibnu 'Umar dan dishahihkan Syeikh Al-Albany).
Dan setelah menguburkan mayit adalah mendoakan dengan ampunan dan penetapan dalam menjawab pertanyaan, sebagaimana dalam hadist, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika selesai menguburkan orang beliau berdiri dan mengatakan :

استغفِروا لأخيكم واسألوا له التثبيتَ فإنه الآن يُسْأَل

"Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian dan mintalah ketetapan untuknya karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya" (HR.Abu Dawud, dari 'Utsman bin Affan, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany
.
Adapun pandangan terhadap suatu perkataan Taabi’in tentang hadits yang berlafal :
وَعَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُأَحَدِ التَّابِعِينَ – قَالَ : كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ ، وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ .أَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ : يَا فُلَانُ ، قُلْ : لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، يَا فُلَانُ : قُلْ رَبِّي اللَّهُ ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ ، وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ، رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًاوَلِلطَّبَرَانِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ مَرْفُوعًا مُطَوَّلًا .
Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabiin, “Mereka (yaitu para shahabat yang beliau jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para pengantar jenazah sudah bubar supaya dikatakan di dekat kuburnya, ‘Wahai fulan katakanlah laa ilaha illallah 3x. Wahai fulan, katakanlah ‘Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad” Dalam Bulughul Maram no hadits 546, Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan oleh Said bin Manshur secara mauquf (dinisbatkan kepada shahabat). Thabrani meriwayatkan hadits di atas dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Said bin Manshur namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi).
Muhammad Amir ash Shan’ani mengatakan, “Setelah membawakan redaksi hadits di atas al Haitsami berkata, ‘Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dan dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak kukenal’. Dalam catatan kaki Majma’uz Zawaid disebutkan bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Ashim bin Abdullah dan dia adalah seorang perawi yang lemah…. Al Atsram mengatakan, ‘Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang apa yang dilakukan oleh banyak orang ketika jenazah telah dimakamkan ada seorang yang berdiri dan berkata, ‘Wahai fulan bin fulanah’. Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mengetahui ada seorang pun yang melakukannya melainkan para penduduk daerah Syam ketika Abul Mughirah meninggal dunia. Tentang masalah tersebut diriwayatkan dari Abu Bakr bin Abi Maryam dari guru-guru mereka bahwa mereka, para guru, melakukannya”. Menganjurkan talqin semacam ini adalah pendapat para ulama bermazhab Syafii.
Dalam Al Manar Al Munif, Ibnul Qoyyim mengatakan, “Sesungguhnya hadits tentang talqin ini adalah hadits yang tidak diragukan oleh para ulama hadits sebagai hadits palsu. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam sunannya dari Hamzah bin Habib dari para gurunya yang berasal dari daerah Himsh (di Suriah, Syam). Jadi perbuatan ini hanya dilakukan oleh orang-orang Himsh.
Dalam Zaadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim juga berkata tegas sebagaimana perkataan beliau di Al Manar Al Munif. Sedangkan di kitab Ar Ruuh, Ibnul Qoyyim menjadikan hadits talqin di atas sebagai salah satu dalil bahwa mayit itu mendengar perkataan orang yang hidup di dekatnya. Terus-menerusnya talqin semacam ini dilakukan dari masa ke masa tanpa ada orang yang mengingkarinya, menurut Ibnul Qoyyim, sudah cukup untuk dijadikan dalil untuk mengamalkannya. Akan tetapi di kitab Ar Ruuh, beliau sendiri tidak menilai hadits talqin di atas sebagai hadits yang shahih bahkan beliau dengan tegas mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang lemah.
Syeikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang kapankah waktu talqin. Jawaban beliau,“Talqin itu dilakukan ketika hendak meninggal dunia yaitu pada saat proses pencabutan nyawa. Orang yang hendak meninggal ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika pamannya, Abu Thalib hendak meninggal dunia. Nabi mendatangi pamanya lantas berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaha illallah, sebuah kalimat kalimat yang bisa kugunakan untuk membelamu di hadapan Allah’. Akan tetapi paman beliau tidak mau mengucapkannya sehingga mati dalam keadaan musyrik.
Sedangkan talqin setelah pemakaman maka itu adalah amal yang bid’ah karena tidak ada hadits yang shahih dari Nabi tentang hal tersebut. Yang sepatutnya dilakukan adalah kandungan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Nabi jika telah selesai memakamkan jenazah berdiri di dekatnya lalu berkata, ‘Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah agar dia diberi keteguhan dalam memberikan jawaban. Sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya’. Adapun membaca Al Qur’an, demikian pula talqin di dekat kubur maka keduanya adalah amal yang bid’ah karena tidak ada dalil yang mendasarinya” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/42, Asy Syamilah).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah meyakini talqin kepada seorang yang hendak meninggal dunia dengan hujjah dan pendekatan dari aspek hadits shahih dan hujjah beberapa pendapat Ulama salaf. Dan mengapa tidak mentalqin seorang mayit atau seorang yang telah meninggal dunia atau yang telah dikuburkan, disebabkan karena memiliki hujjah yang mendasar pada pendapat sebagian ulama bukan kepada hadits-hadits shahih.
C.     Talqin sunnah menurut Nahdhatul Ulama.
Talqin sunnah dikalangan Nahdhatul Ulama sama halnya dengan talqin sunnah dikalangan Muhammadiyah, yakni mentalqin seseorang yang hendak meninggal dunia atau sedang mengalami sakratulmaut. Namun ada suatu hal yang menarik dikalangann Nahdiyyin tentang masalah talqin yakni talqin terhadap mayit yang telah dikuburkan, hal ini tidak hanya dianggap tradisi baik dikalangan NU bahkan disunnahkan atau dianjurkan oleh beberapa ulam fiqh yang masih menjadi perdebatan dikalangan Ulama salaf ataupun Ulama khalaf, dikarenakan hadits yang diamalkan dalam talqin tradisi adalah hadits dha’if yang derajatnya sampai pada hadits hasan li ghairihi yang dapat dijadikan fadha’il dalam beramal.
Berikut teks hadits tentang talqin yang menjadi kebiasaan masyarakat syam dan Indonesia khususnya, dan kesunnahan ini berdasarkan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abi Umamah r.a. :
عن ابي أمامة رضي الله عنه قال اذا انا مت فاصنعوا بي كما امرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ان نصنع بموتانا. امرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال اذا مات احد من اخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم احد على رأس قبره ثم ليقل : يا فلان ابن فلانة فانه يسمعه ولا يجيب ثم يقول يا فلان بن فلانة فانه يستوى قاعدا. ثم يقول يافلان بن فلانة فانه يقول: ارشدنا يرحمك الله ولكن لا تشعرون فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة ان لاإله الاالله وان محمدا عبده ورسوله وانك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرأن إماما فإن منكرا ونكيرا يأخد كل واحد منهما بيد صاحبه. ويقول انطلق بنا ما يقعدنا عند من قد لقن حجته. فقال رجل يا رسول الله فان لم يعرف امه؟ قال ينسبه الى امه حواء : يا فلان بن حواء, (رواه الطبراني)

 “dari Abi Umamah ra, beliau berkata, jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kita, seraya bersabda, “ketika diantara kamu ada yang menunggal dunia, lalu kamu meratakan debu di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “wahai fulan bin fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendebngar apa yang kamu ucapakan, namun mereka tidak ddapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri dikuburan) berkata lagi, “wahai fulan bin fulana”, maka simayyit berucap, “berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu”. Namun kamu tidak merasakan apa yang aku rasakn di sisni”. Karna itu hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata, “ingatlah suatu engkau keluar kedalam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad hamba serta Rasul Allah. Kamu juga telah bersaksi bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai tuhanmu, Islam sebagai agamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan Al-Qur’an sebagai menuntun jalanmu.setelah dibacakan talqin ini malaikaikat MUnkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk dimuka orang yang dibackan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. “wahai Rasullulah, bagaiman kalau kita tidak mengenal ibunay? “Rasulullah menjawab, “kalau seperti itu dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “wahai fulan bin Hawa”. (HR. Thabrani)[5] 
Memang, mayoritas Ulama’ mengatkan bahwa Hadits ini termasuk Hadits Dha’if, karna ada seorang perowinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan Hadits. Namun dalam rangka fadh’ilul al-a’mal, hadits ini dapat digunakan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani:
وَاَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بعد الدفن فقد قال جماعة وكثبر من اصحابنا باستحبابه وممن نص على استحبابه القاضى حسين في تعليقه بوصاحبه أبو سعد المتولى في كتابه التتمة والشيخ الإمام أبو الفتح نصر بن إبراهيم المقدسي والإمام أبو القاسم الرافعي وغيرهم ونقله القاضي حسين عن الأصحاب ( الأذكار النووية, 206)
“sekalipun hadits tentang talqin itu merupakan hadits dha’if, namun dapat diamalkan dalam rangka fadhail al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits itu masuk pada katagori prinsip yang universal, yakni usaha seorang mukmin untuk member (dan membantu) saudaranya,serta untuk memperingatkannya karna peringatan itu akan dapat bermanfaat kepada orang mukmin”. (Majmu’ Fatawi Wa Rasa’il)
kesunnahan talqin yang dilaksanakan ketika mayyit baru dikuburkan juga disebutkan oleh penuturan Imam Nawawi dalam al-Adzkar:
“membaca talqin untuk mayyit setelah dimakamkam adalah perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat sekelompok Ulama’ serta mayoritas Ulama’ Syafi’iyah. Ulama’ yang mengatakan kesunnahan ini diantaranya adalah Qadli Husain dalam kitab Ta’liq-nya, sahabt beliau yang bernama Abu Sa’d al-Mutawali dalam kitabnya al-Tanimmah, Syekh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim Al-Maqdisi, Imam Abu al-Qosim al-Rifa’I, dan lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir pendapat ini dari para Sahabat”. (Al-Adzkar, al- Nawayiyah, 206)
Dari paparan ini, maka pelaksaaan talqin itu tidak bertentangan dengan ajaran Agama bahakn sangat dianjurkan bahkan Sunnah. Baik dilakukan pada saat seseorang menjempu ajalnya, atau pada saat mayyit dimakamkan.
Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Nahdhatul Ulama’ meyakini talqin sunnah tetap terdapat dua macam, diantaranya yakni mentalqin seseorang yang sedang dalam keadaaan sakratulmaut dan mentalqin mayyit yang telah dikuburkan. Dengan Hujjah Hadits-hadits Shahih dan Hadits Hasan li ghairihi yang disepakati oleh sebagian Ulama’ Syafi’iyyah.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Hadits sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayan ta`kid, bayan tafsir atau bayan murad terhadap al-Quran yang secara redaksi dikategorikan zhanniy al-wurud, ternyata mengandung berbagai problem di dalamnya. Khususnya pada permasalahan seputar Talqin yang telah menjadi kebiasaan dikalangan muslimin dari zaman Nabi Muhammad Saw hingga kini.
Namun terdapat beberapa perbedaan furu’iyah dalam memahami suatu hadits, seperti halnya yang terjadi diantara dua organisasi masyarakat besar di Indonesia yakni Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama dalam amaliyah Talqin yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Muhammadiyah meyakini dan mengamalkan talqin sunnah itu hanya kepada seseorang yang hendak meninggal dunia (wafat), dikarenakan didalam pencarian sekaligus pengamalan suatu kebenaran harus bersandarkan kepada hadits-hadits shahih dan juga pendapat para Ulama salaf. Oleh karenanya dapat diketahui bahwa Muhammadiyah sedikit lebih cendrung mengamalkan hadits-hdits shahih dari pada mengamalkan hadits-hadits dha’if yang lemah kehujjahannya. Singkatnya melakukan pencarian kebenaran dengan pendekatan aspek hadits.
Sedangkan Nahdhatul Ulama meyakini dan mengamalkan bahwa talqin sunnah itu terdapat dua macam yakni talqin terhadap orang yang akan meninggal dunia dan talqin kepada orang yang meninggal dunia seusai disemayamkan. Hal ini dikarenakan Nahdhatul Ulama tidak hanya beramal dengan hadits-hadits shahih namun juga beramal dengan suatu hadits dha’if yang sekiranya dapat menjadi fadha’ilul A’mal didalam beramal karena dikuatkan oleh pendapat para Ulama Hadits dan Ulama Fiqh.




DAFTAR PUSTAKA
Sayyed al-Bakri al-Damyathi. 1995. I’anah at-Thalibin. Semarang:Thaha Putra.
Syaikhul Islam Ahmad Syihabuddin ar-Ramliy. Nihayatul Muhtaj syarah Minhaj.  Maktabah Syamilah.
Imam. Muslim. Shahih Muslim. Maktabah Syamilah.
Sabiq. Muhammad. 2013. Fiqih Sunnah. Jakarta Pusat:Pena Pundi Aksara.
 Abdus shomzkarad. Mahyuddin.2004. Fiqh Tradisionalis. M


[1] Sayyed al-Bakri al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz II, Hal. 140
[2] Nihayatul Muhtaj syarah Minhaj – Syaikhul Islam Ahmad Syihabuddin ar-Ramliy - Juz  : 8 halaman : 402. Maktabah Syamilah.
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 37
[4] Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Hal. 302.
[5] Mahyuddin Abdusshomzkarad, Fiqh Tradisionalis, (Malang: Pustaka Bayan, 2004), 204.

3 komentar:

  1. If you're attempting to burn fat then you absolutely have to try this totally brand new custom keto diet.

    To design this keto diet service, licenced nutritionists, personal trainers, and professional chefs have joined together to develop keto meal plans that are efficient, painless, money-efficient, and satisfying.

    Since their launch in January 2019, thousands of clients have already completely transformed their body and health with the benefits a professional keto diet can give.

    Speaking of benefits; in this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones offered by the keto diet.

    BalasHapus
  2. Casino site, review & bonus codes - LuckyClub
    The Lucky Club casino is now on our list of online casinos. Check the bonus codes and get luckyclub.live a bonus with the best welcome bonus.Minimum deposit: C$20

    BalasHapus